Meski
menceritakan diri sendiri tiada habisnya, bagiku menceritakan orang lain juga
sama, tiada habisnya, selalu saja ada topik hangat yang layak untuk
diperbincangkan. Ini tentangnya beberapa tahun silam, aku sengaja menulisnya agar
setiap kubaca kembali, aku bukan saja mengingat kisahnya namun secara otomatis
juga mengingat senyum tipis nan menawannya, aduhai manis sekali. Namanya tak
akan kutuliskan di sini, alasannya biarlah semua berjalan semestinya.
Dia yang tak kusebutkan
namanya, telah membuat detak jantungku berdebar dua kali lebih cepat dari
biasanya. Itu pertemuan pertama kami, di ruangan berukuran 7 x 8 meter. Terlalu
cepat, hingga berlalu begitu saja. Hari – hari berikutnya, senin sampai sabtu
aku beryukur dapat leluasa memandanginya meski dibeberapa kesempatan aku harus
mencuri tatap. Gerak – geriknya selalu kuperhatikan, bagiku setiap jengkal yang
ada di dirinya menjadi daya tariknya, buktinya aku terpedaya mungkin begitu
juga dengan perempuan lain saat melihatnya. Jaket oranye yang selalu ia kenakan
menjadi salah satu ciri khasnya, selain wajah Tionghoanya. Ah sial, kini
wajahnya memenuhi sel-sel otakku. Di beberapa kegiatan, aku menjadi bagian dari
kelompoknya. Senang betul rasanya, selain mempunyai akses untuk mengobrol tanpa
hambatan, aku bisa memandanginya secara dekat. Mantap.
Awalnya
aku minder, sebab ia salah satu murid yang pandai, tapi semua itu musnah saat
aku dan anggota lain termasuk ia di dalamnya melebur memecahkan tugas dari guru
dan berhasil menjawabnya dengan baik dan benar. Perfect!. Wajahnya semringah
saat kelompok kami disebutkan menjadi kelompok terbaik. Ia menatapku, lagi lagi
dengan senyumnya, mengisyaratkan bahwa kerja sama yang bagus kawan. Aku membalas
senyumnya, senyum paling manis pastinya. Waktu terus berjalan, aku dan dia
semakin dekat, tak jarang saat aku membawa tas laptop yang cukup berat ia
selalu membantu membawanya, seringnya sedikit memaksa, lucu sekali. Katanya,
laki-laki harus membantu perempuan, apalagi perempuan yang sedang membawa beban
berat, ucapnya kala itu. Aku? Ya mau tidak mau menyerahkan tas laptop itu kepadanya.
Ia berjalan lebih dulu bersama teman laki-laki lainnya ke lab komputer,
sedangkan aku berjalan di belakangnya bersama teman-teman perempuan lainnya. Kulihat
dua tiga dari teman sekelasku berbisik-bisik, matanya tajam melihatku yang
tasnya dibawakan olehnya. Aku cuek, toh aku tidak memaksa dan memintanya untuk
membawakannya. Semakin hari hubungan kami semakin dekat, kalau ditanya tentang
perasaan, sejak melihat ia pertama kali aku sudah jatuh hati hahaha. Suatu
ketika, saat ia sedang membawakan tas laptopku seorang teman perempuan yang
memang sejak awal kedatanganku di kelasnya tidak menyukaiku, mengambil alih tas
laptop dari tangannya, aku kaget begitupun dengannya, perempuan yang berinisial
sama sepertiku itu lalu berbicara “Lagian ngapain sih dibawain, kan si Ade juga
bisa bawa sendiri” sambil berlalu membawa laptopku ke lab komputer. Aku dengannya
bersitatap lalu menaikan bahu, tidak tahu menahu. Beberapa waktu kemudian
kuketahui perempuan itu juga menyukainya amat sangat malah, namun pada akhirnya
aku mendapati foto pernikahannya dengan sahabat dari yang tidak bisa kusebutkan
namanya ini selepas perpisahan lalu, hahaha dunia oh dunia!
Singkat
cerita, setelah dekat dan sering berkirim pesan melalui SMS atau pesan di
facebook pada zamannya, lalu komunikasi lainnya. Aku sadar diri, bahwa aku
dengannya sudah terlalu jauh semisal bertujuan memiliki hubungan lebih dari
teman. Ya, aku memutuskan untuk menjauhinya secara perlahan saat itu, sejak
kuketahui keyakinannya berbeda denganku. Aku kalah sebelum bertarung, kalah,
telak. Mungkin sudah dari awal aku kalah, tapi aku masih bebal untuk terus
mencoba dan lihat hasilnya kau kalah juga Ade :’) itu patah hati pertamaku.
Ahiya, ia juga menjadi orang
pertama yang mengubah perspektifku tentang paras Tionghoa. Tidak bermaksud SARA,
lebih jauh dari itu ini tentang selera, tipikal. Dulu, aku melihat lelaki
berparas Tionghoa ya biasa saja, meski kata orang lain tampan rupawan dengan segala
halnya, bagiku ya sudah biasa saja tidak ada yang perlu banyak dikatakan, biasa
saja, cukup. Sampai aku bertemunya dan aku jatuh hati dengannya. Semua
pandanganku tentang paras Tionghoa akhirnya berubah haluan menjadi seperti kata
orang lain yang dulu selalu mereka katakan, tampan, rupawan seperti pada
umumnya. Aku tidak lagi memukul rata, tapi lebih dari itu, aku mengakui dengan
cara pandang yang baru.
Setahun dua tahun
setelah lulus aku masih bisa memantaunya melalui media sosial, sialnya, acap kali
aku melihat fotonya aku lantas ikut tersenyum, seakan-akan senyumnya hanya
tertuju padaku, padahal senyumnya untuk siapa saja yang melihat fotonya, hahaha
dasar kepedean! Ya, hanya sebatas melihatnya, menyukai hasil jepretannya tanpa
pernah berani mengucap aku juga menyukai dirimu, hei!. Tahun kedua setelah
lulus, aku direncanakan operasi. Bagi yang pernah membaca ceritaku sebelumnya,
tentu tahu aku akan operasi apa :). Dua tiga hari sebelum operasi berlangsung,
aku mengirim permohonan doa di grup WhatsApp alumni kelasku, tujuannya tentu
untuk mendoakan operasiku agar berjalan dengan lancar dan selamat. Hari selasa,
H-1, Ada notifikasi masuk di ponselku, aku bertanya-tanya, nomor siapa ini?
cepat-cepat kubuka, betapa langsung tersenyum dan berbunga-bunganya hatiku saat
kudapati ternyata pesan darinya. Seingatku isinya seperti ini
“Hai Ade, semoga besok operasinya lancar dan
cepat sembuh ya :)” lalu
tanda strip namanya. Aku seperti dapat asupan semangat berkali-kali lipat, bahagia
sekali.
Usai operasi dan masuk
dalam tahap pemulihan, beberapa perwakilan dari teman sekelasku hendak
membesukku di rumah. Mungkin dua minggu setelah aku pulang dari rumah sakit.
Aku bertanya kepada temanku di grup whatApps tentang rencananya ke rumahku,
mereka bilang belum tau, alih-alih membuat surprise, sore harinya di hari yang
sama mereka datang ke rumahku tanpa mengatakan apapun. Tiba-tiba ketuk pintu,
memanggil namaku, lalu masuk dan memberiku buah tangan. Aku senang sekaligus
malu, betapa kumal dan acak-acakannya aku saat mereka melihatku. Di akhir, aku
juga foto bersama mereka, lebih tepatnya dipaksa dan mereka menguploadnya ke
grup WhatsApps kelas, menyebalkan!.
Setelah mereka pulang,
ponselku berbunyi, pesan masuk darinya terpampang di layar kaca. Rasa sakit
yang sedang aku rasakan bekas operasi berangsur-angsur mereda, sesaat aku membaca
pesannya, ajaib.
“Ade
maaf gue gabisa ikut besuk kerumah lu, semoga cepat sembuh ya de :)”
Walau hanya itu, untuk
sekali lagi, pertahananku kembali runtuh.
Sebenarnya bagian ini
merupakan bagian klimaks dari cerita ini.
Setelah aku mengetahui
ia berbeda keyakinan denganku, daftar doaku bertambah satu, apalagi kalau bukan
mendoakan dirinya, ini doa yang berbeda. Sebab, aku mendoakannya khusus agar ia
semoga mendapat hidayah dan berpindah keyakinan. Terdengar tidak waras memang,
tapi itulah nyatanya hahaha. Sayang saat itu aku kurang spesifik berdoanya
hingga……saat tahun ketiga selepas lulus sekolah, aku mendapati informasi yang
tentunya valid, bahwa ia berpindah keyakinan. Saat pertama kali mendengarnya
aku kaget, selanjutnya senang karena doa yang kurapalkan di setiap salat wajib
dan sunnahku dikabulkan sang Pencipta, masyaAllah keutamaan doa memang LUARRRR
BIYASA. Berikutnya perasaanku seperti tak jelas, sejak tahu kalau ia berpindah
keyakinan dan keyakinan barunya masih berbeda dengan keyakinanku :’). Dari sini
aku mengambil hikmah positif bahwa jika kau berdoa, berdoalah dengan jelas dan spesifik.
Di tahun ketiga itu juga, untuk pertama kalinya lagi kami dipertemukan dalam
acara buka bersama teman sekelas dahulu, saat melihatnya untuk sekali lagi, cuplikan-cuplikan
memori zaman dulu seakan diputar kembali. Gatau lagi mau berkata apa, senyumnya
masih sama, masih memakai kacamata yang berbeda postur tubuhnya kini lebih
gagah dan kekar, bahkan saat menulis kisah ini aku reflek membuka file foto
bersama kami dan teman-teman lainnya di acara itu hahaha. Amazing.
Empat tahun berlalu,
kelak semoga aku, dirinya dapat bertemu atau dipertemukan kembali entah di
acara pernikahanku atau pernikahannya, tidak ada yang tahu bukan? Jadi yang
sudah berlalu biarlah berlalu, biarlah ia abadi hanya dalam tulisan ini.
Sekian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar