Rabu, 16 September 2020

Haruskah aku menerima ini?

 


Ingin pergi saja dari dunia ini,, katanya disela-sela curhat bertempo enam puluh menit itu.

Aku terdiam, sejenak mengiyakan dalam hati…aku pun.

Sepertinya setiap yang kulakukan selalu dianggap salah, ah mungkin lebih tepatnya memang aku yang selalu salah. Aku diam tak membalas salah. Aku buka suara pun, tetap salah. Lalu aku harus apa? Diam saat harga diri diinjak-injak? Diam saat jawaban yang kusuarakan memang benar adanya? Sampai kapan aku harus begini? Aku capek, sakit hatiku, bosan rasanya mendengar narasi berulang-ulang yang menghujam batinku setiap kali aku dianggap salah.

Lagi-lagi aku mengiyakannya…aku pun

Aku selalu berpikir, bahkan ketika aku memang benar salah, apakah aku memang pantas mendapatkan ini semua?

Sesaat mengutarakan isi hatinya, ia tertawa. Tawa yang gamang disertai tatapan mata kosong.

Minumlah, pintaku. Seraya menyodorkan segelas air dingin di hadapannya.

Ia menerimanya. Perlahan-lahan meneguk isinya hingga tandas.

Hey, kau dari mana saja? Haus betul sepertinya. Aku mencoba mencairkan suasana yang bisa dibilang cukup menguras emosi itu.

Ia tertawa sekali lagi, kali ini tawanya lebih natural.

Boleh kulanjut? Ia meminta diri.

Silakan. Aku hanya jadi pendengarmu di sini. Berceritalah sesukamu, aku akan buka suara jika diminta. Lanjutkanlah, jika dengan begitu hatimu merasa lega setelah bercerita padaku, ya meski hanya sedikit.

Ia menarik nafas panjang.

Aku masih ingat perkataanya, sakit sekali saat mendengarnya. Aku tak pernah mengira orang terdekatku donatur paling dermawan penyumbang rasa sakit hatiku.

Aku tersentak. Perkataannya halus namun penuh tekanan.

Sekarang ia memintal-mintal ujung bajunya.

Suasana kembali hening, bibirku masih menutup, kalau pun dapat kesempatan berbicara, aku bingung akan membahas yang mana.

Kalau..kalau saja aku berani mengutarakan pendapatku secara gamblang, mungkin semua ini bisa dihindari. Ah tapi percumalah, untuk yang sudah di cap selalu salah, pembelaan atau perlawanan hanya menimbulkan masalah baru dan memanaskan situasi saja. Iya kan?

Lagi pula meski sudah menginjak dewasa, cap “anak kecil tak tau apa-apa”  akan terus melekat di diriku. Iya kan?

Ia tersenyum bengis sambil tangannya meraih segelas air dingin. Meremasnya.

Hanya pendingin udara yang kini mengeluarkan suara.

Ahiya, terima kasih untuk kesempatan kali ini, didengarkan dan di tulis ceritanya sungguhlah suatu kehormatan bagiku. Sekali lagi terima kasih, sudah mau mendengarkan tanpa memberi komentar menggurui. Kadang yang diperlukan memang hanya itu, didengarkan. Tidak lebih tidak kurang. Meski aku tahu, kau tentu sudah gemas ingin mengeluarkan pendapatmu bukan? Hahahaha.

Aku hanya tersenyum, sebagaimana gemasnya aku belum diperkenankan untuk memberi asumsi, maka aku hanya diam, sesekali menyimak, sesekali menggaruk kepala yang tidak gatal sebab ketombe.

Ia merapikan gelasnya, membayar bill pesanan, bersiap mengundurkan diri. Kemudian berjabat tangan seraya tersenyum, lalu tanpa hitungan aba-aba sudah bergerak menjauh meninggalkanku.


Aku berterima kasih kepadanya selain telah menyumbangkan keluh kesahnya, ia juga telah lantang menyuarakan apa yang memang sudah lama ingin kusuarakan. Sekali lagi terima kasih, sampai bertemu dikeluh kesah berikutnya.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar