Rabu, 12 Juni 2019

Salamku Untuk Kekasihmu yang Baru






Perasaan yang tumbuh subur di tempat dan waktu yang salah, selama apa pun itu telah tertinggal di belakang, kenangan itu selalu menempel . . .” 

Aku menutup aplikasi catatan di ponsel. Matahari terik menyinari sebagian besar Ibu Kota, memberi tanda bahwa aku mesti bersiap-siap mengemas barang bawaanku, bergegas mencari angkutan kota berwarna biru, hendak kembali ke pelukan Ibu Pertiwi; rumah.

Ponselku berbunyi, menandakan notifikasi masuk. Aku mengabaikannya, untuk urusan itu bisa dinanti-nanti. Sepuluh menit berlalu, angkot biru itu belum juga kunjung datang, baiklah aku memutuskan sedikit menepi ke salah satu halte terdekat, menyembunyikan diri dari terpaan mentari jam 1 siang. Ponselku berbunyi untuk kesekian kalinya, aku merengut kesal, dan akhirnya kuraih ponsel dari dalam saku tas. Satu nama familiar tertera, aku berdeham “ada apa lagi dia” sambil menggaruk kepala yang tak gatal.

Beberapa waktu kemudian, aku telah sampai di rumah dalam keadaan lemas tak berdaya merebah di kasur, tentunya dengan ponsel di tangan kananku, racun di tangan kiriku dan kamu di tengah-tengah~

Ahiya, aku baru ingat, ada pesan masuk yang belum sempat kubalas dan akhirnya aku balas satu persatu hingga sampai kepada pesan partner ghibahku; sebut saja Lulu. Isi pesannya singkat saja “De, gue mau cerita!” tak lama setelah aku membalasnya, panggilan darinya masuk, buru-buru kuangkat telepon darinya.

“Iya, assalammualaikum Lu. Ada apa? Maaf tadi gasempet balas, aku lagi di perjalanan pulang” klarifikasiku.

Ada suara tertawa terbahak-bahak dari ujung telepon sana

“Lebay lu De, kaya sama siapa aja hahaha”

Aku mengernyitkan dahi, sebal.

“Gini loh De, gue punya dan mau cerita sama lu, tapi berhubung gue gabisa merangkai kata-kata indah seperti lu, hmmm…” sekarang suara cengengesan terdengar dari seberang telepon. Aku cepat mengambil kesimpulan.

“Iya, iya aku ngerti, gausah sok manis gitu. Tudupoin sih mau dibuatin tulisan iyakan? Ketaker Lu ah”. 

Sejurus kemudian kalimat pemanis ditumpahkannya. Aku bersenandung, malas mendengarnya. “Udah buruan cerita, apaansi”. Kini aku yang mulai penasaran merajuk.

Jika dibayangkan, mungkin Lulu sedang membenarkan posisi duduknya, sedikit bersandar di kursi malas, siap bercerita panjang kali lebar tanpa henti sebelum disuruh untuk berhenti.

“De, lu tau kan mantan gue yang hmm, gausah disebutin namanya deh ya.” Aku berpikir, mencari satu nama.
“Ohiya, kenapa dengannya? Ada masalah?” aku berbalik badan, hendak memeluk guling
“Engga ada masalah serius sih, Cuma gue baru nemu fakta baru aja tentangnya”
“Hah? Fakta apaan lagi, spill the tea lah” aku semakin semangat

“Ituloh, diakan balikan sama mantannya…..” hening, hanya terdengar suara cicit burung di luar.
“Mantan yang mana lagi? Kan banyak hahaha” aku tak kuasa menahan tawa

“Anjir, lagi serius ini gue De. Udah lu diem aja dulu, gue mau cerita jangan disela sedikit pun atau lu akan tau akibatnya” hardiknya.

Setengah jam berlalu, ia telah selesai bercerita dan kali ini aku yang terdiam lama mencerna isi ceritanya. Bukan, bukan karena pembicaraannya yang kemana-mana, melainkan karena alur ceritanya seperti menggambarkan seseorang yang kukenali.

“De, gue percaya sama bakat tulis-menulis lu, tau sendiri kan tiap lu posting di blog gue selalu baca ya meski pun gue gapernah kasih komentar secara tertulis di kolom komentar, tapi jujur gue . . . “

“Hahaha gausah ngalem anjir.” Cepat aku memotong kata-katanya yang belum sepenuhnya tuntas. Kemudian, telepon ditutup dengan banyak ucapan terima kasih dan salam penutup.

Aku yang masih memeluk guling, kini berganti posisi menatap birunya langit-langit kamar. Ada jeda yang menggiringku pada suatu masa, hingga aku sadar, jika diteruskan terlalu berbahaya untuk kesehatan hati dan pikiranku.

Maka di malam harinya, aku mulai mengetik, jemariku menari liar di atas tuts kibor menumpahkan segala cerita yang telah kutangkap melalui cerita Lulu. Aku menempatkan diri, sebagai dirinya.

***
Bermula dari suatu malam di bulan Februari. Malam itu entah mengapa, jemariku menuntunku ke salah satu aplikasi yang selama ini aku hindari. Seperti memasuki rumah hantu, aku takut-takut memilih opsi-opsi yang disediakan, ada rasa yang sulit dijelaskan bersemayam acap kali memutuskan untuk sekadar login ke aplikasi tersebut, iya sampai segitunya.

Dan ya terjadilah apa yang selama ini dihindari. Terpampang jelas nyata dalam genggaman ponsel. Dua wajah itu tersorot kamera, yang perempuan tersenyum semringah menghadap kamera, sementara yang lelaki menunduk menutupi wajahnya disorot kamera. Aku tersenyum, senyum tawar tanpa ekspresi. Jangan ditanya apa rasanya, yang jelas perih tak kunjung sembuh. 5 detik 10 detik, satu menit berlalu, kebas sudah hati ini. aku menarik dan menghela napas beberapa saat, mencoba menstabilkan. Namun sayangnya, gagal. Hah, dasar bodoh semestinya kau sudah tau risiko seperti ini akan terjadi sewaktu-waktu. Kalimat-kalimat itu dibisikan langsung oleh pikiranku sedangkan hatiku membenarkan kejadian tersebut sebagai cobaan yang harus disabari. complicated

Malam itu aku sulit sekali tidur bahkan untuk memejamkan kedua mata. Pikiranku melayang entah jauh kemana, kecemasan terpeta jelas di wajahku. Beberapa malam berikutnya, seperti tak ada kapoknya, aku sekuat tenaga kembali membuka gerbang neraka. Kali ini lebih percaya diri dengan dipersenjatai banyak senjata. Ah tapi yang namanya direncanakan sedemikian rupa hasilnya tetap saja zonk. Lagi dan lagi aku kalah di medan pertempuran dan dua wajah itu lagi dan lagi tersenyum lebar, seakan bisa menebak keadaanku yang sudah babak-belur dihajar kenyataan.   

Malam berganti hari, terus merajut hingga berganti bulan. Kali ini aku dengan tangan kosong menghadapinya, tidak peduli akan seperti apa jadinya. Dasar stubbron!

Keesokan paginya aku bangun dengan wajah mengkal sisa semalam, menurutku malam itu menjadi puncaknya dari kelakuan dua manusia itu, tidak bisa dibiarkan! Aku berapi-api, lantas seperti diguyur air, api itu pun padam, kalimat menyesakkan “Maaf, anda siapanya?” berdengung  melumpuhkanku. Sadar diri woy sadar diri! Mundur!

Aku menyudahi kegiatan mengetikku, memeletukkan jari-jari tangan, mematikan daya laptop lalu bangkit menuju dipan untuk pergi tidur. Masih banyak yang perlu aku tuangkan dalam tulisan itu, namun biarlah esok harinya kulanjut, pekikku dalam hati.

***

Beberapa waktu kemudian.
Sajian seperti tiket nonton bioskop, selfie candid, berpegangan tangan layaknya mau menyebrang, tertawa-tawa entah lucunya di mana, hangout, perayaan ulang tahun, pertanyaan-pertanyaan caper tanpa jawaban, makin sering menghiasi layar ponselku. Aku? Jangan ditanya, entah bagaimana sudah berangsur-angsur biasa saja, seperti sedang menyaksikan bucin-bucin jatuh cinta. Satu hal yang membuatku kala itu menjadi biasa saja tak bereaksi seperti di awal-awal, karena mereka . . . . .

***
“De, gimana udah selesai?” pesan masuk darinya
“Baru setengah jadi, banyak bgt sist, butuh berhari-hari, tau sendiri kan aku kalo nulis harus ada pencerahan dan mood dulu.” Keluhanku akhirnya tersampaikan.
“Gausah dilanjut deh de, ada yang lebih seruuuuuu.”
“Kok gitu? Jadi ingin berkata sayang deh.”

“Hahahaha.”
“De, tau ga de.”
“Hot bgtlah ini, ngalahin saos”

“Yagataulah you kan belum bilang, hih.”

“Mantan gue de, aplot foto di watsap”
“Hahahahaha”

Aku berusaha mencerna isi pesannya. Ini mantan yang kemarin atau beda lagi ya hmm.

“Si itu bukan?” menyebutkan sepenggal nama
“Iya, hahaha anjir kocak bgt”
“Kenapa emang? Mau kepo atuhlah.”
“Lu tau kan ya de, kakak sama adek gue begitu pun dia saling save nomor.”
“Baru tau ini malah hahaha”

Tak lama, telepon darinya masuk.

“Via telepon ajalah, ngomongnya lebih enak daripada via teks.”
“Iya iya, terserah lu terserah”

Dia tertawa di seberang sana.

“Jadi gini De ceritanya, belum lama sih kejadiannya, dia aplot foto di watsap sama mantannya yang gue bilang tempo hari itu, masalah itu gue udah gapeduli bodo amat dah, yang bikin gue ngakak sama kaka dan adek gue itu, kelakuannya njir kaya bocah, Hahahahaha”

Lagi lagi dia tertawa kencang, tak sudah-sudah. Aku yang masih menunggu ending dari ceritanya tentu masih diam kebingungan.

“Lalu?”

“Dia ngehide kaka sama adek gue, nah giliran gue engga. Terus gue nanya dong sama kaka sama adek gue, liat story watsap kalian deh si ini kan aplot foto. Mereka kaget cuy, gue tunjukin ajatuh storynya sekalian.”
“Mereka langsung ketawa cuy gaudah-udah, gue aja ngakak de yaAllah, bener deh, Hahahahaha.”
“Mereka bukan menertawakan isi fotonya, tapi menertawakan kok dia bisa sampe gamikir atau gakepikiran kalo gue kan serumah, gamungkin ga ceritalah, you knowlah maksud gue.”

Mendengar ceritanya aku ikut tertawa, betapa tidak dipikir matang-matang kalau ingin membuat suatu kebodohan.

“Eh lu, dia tuh sebenernya mau nunjukin ke kamu, udah punya pacar baru loh atau apalah itu namanya cuma yagitu, atau ya positif thinking dia mau manas-manasin cuma kurang teliti, kurang briefing Hahahaha”

“Sueeee, positif thinking begitu, ngakak gue yaAllah De.”
“Nah kan, lu aja ketawa. Kayanya sih gitu De, cuma yaudahlah ya, gue gapeduli, udah males.”
“Lu tau sendirikan gue kalo tau cowo udah punya pacar, bakal apa?”
“Dia harusnya belajar sama lu ya De, cara main halus tuh gimana, Hahahaha”

“Hahahaha, iyaiya harusnya dia berguru sama aku, gimana main alus tanpa keliatan ya maaf-maaf ajanih, bodohnya, hahahahaha.”
“Iya tau bgt kok, terus langkah selanjutnya apa yang bakal you lakuin?”

“Sadis amat bahasanya sist HAHAHAHA”
“Hmm, ya paling gue bakal hapus nomornya sih. Lu tau kan gue gapernah mau ngeblock anak orang.”

“Aku dukung apa pun keputusanmu Lu, kalo itu yang terbaik ya kenapa engga yakan”
“Paling nanti dia bertanya pada dirinya sendiri entah kapannya, gue diblock apa engga nih ya. Secara profil sama status WhatsApp dihide selain yang bukan kontak ye hahahaha.”

“Makasih banyak loh.”
“Wagelaseh tau aja lu De hahahaha.”

Pagi menuju siang hari itu, dihabiskan dengan canda tawa. Lupa dengan permintaannya mengenai sebuah tulisan. Kupikir terlupa lebih baik dibandingkan terluka.

***

Kepalaku sedang dipenuhi pertanyaan yang sama namun berulang-ulang. Ada sekali sempat, tetapi aku yang malah tidak kuasa mengeluarkan pertanyaan, takut mengganggunya, dan lebih cemas lagi mendengar jawabannya.

“Tanya apa? Santai aja kali.”

Ini pertemuanku setelah sekian lama berkomunikasi hanya melalui WhatsApp dan telepon.

“Gimana kabarmu?”
“Dih, sok peduli lu ah hahaha. Baik, lu gimana De?”
“Alhamdulillah, I’ll try to be okay. Hahahaha. Bercanda deng.”
“Yee malih, jujur ajasih sama gue mah.”
“Serius, aku sehat dan waras kok.”
“De, tulisan Lu yang waktu itu masih ada kan, ga dihapus?”
“Yang waktu itu? ada, aman. Kenapa Lu?”
“Gapapa sih, Cuma gue mau tambahin aja ceritanya hehe”

Dia tersenyum, senyum paling manis yang pernah kulihat secara langsung.

“Wah boleh tuh, yaudah langsung cerita aja”

Semangatku berkobar, jika bisa digambar seperti emoticon api di applikasi WhatsApp

“Menurut lu dia bakalan gimana nantinya?”
Aku cepat-cepat mencerna
“Idk, tapi kayaknya sih hehehehe, you know kan maksudku Lu?”
“Iya, seperti yang lu omongin waktu itu kan, inget bgt gue.”
“Apa coba?” Aku menjulurkan lidah, mencoba mencairkan suasana yang mulai sendu.
“Jarak terjauh bukan tentang jarak tempuh, beda perasaan pun sudah termasuk jarak terjauh, selain jarak dua dimensi yang berbeda dan jarak kedua keyakinan, begitu deh”
“Emang aku pernah ngomong kaya gitu ya? Hahaha. Lupa akutu”
“Iya tau, tapi beberapa gue tambahin sih hahaha”
“Lalu, menurutmu mereka bakal….. gitu?”
“Ya gue sih, gabilang begitu, gue mah doain yang baik-baiklah.”
“Menurutku sih ya Cuma sekadar untuk bersenang-senang, punya status begitu deh. Konten sensitive udah ah”

Aku menyambar jus jeruk di atas meja, sejurus kemudian mengalihkan pembicaraan ke topik yang lebih ringan. 

Lagu Ran – Salamku Untuk Kekasihmu yang Baru terputar, menggema mengisi seisi ruangan foodcourt.

“De, lagunya De, hahahha.”
“Hahaha iya ngerti kok ngerti.”
“Enakan lagunya?” Aku meledeknya sambil disertai kekehan.

“Kampret bener emang lu de, hahahaha”

“Gausah mancing-mancing duluan makanya, kecuali mau dikuliti hahahaha.”

“Ogah, lu mah kan main halus, gue berasa terhipnotis jadinya hahaha”

“Sembarangan hahaha”

Hari itu lebih banyak dihabiskan dengan bersenda gurau, dan malam berlalu seperti merangkak. Kami berdua berpisah di pertigaan jalan, berbeda arah, dan untuk sekali lagi lagu Ran - Salamku Untuk Kekasihmu yang Baru terputar kembali, seakan sengaja mengantarkan kami tenggelam pada pikiran masing-masing.



Dan ya, tulisan ini baru sebuah permulaan, jauh dari kata selesai.

B E R S A M B U N G
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar