Jumat, 09 November 2018

Aku Pelupa, dengan Menulislah Aku Mengabadikanmu



“November menjadi bulan kesebelas dari dua belas bulan…”
Buru-buru kuhapus kalimat itu, lantas berpikir cepat mencari kata-kata baru yang lebih sesuai. Mentok. Aku menjauhkan diri dari hadapan laptop, melepas kaca mata anti radiasi, lalu merebahkan diri di kasur kapuk nan empuk. Lagu Obbie Mesakh yang kembali dipopulerkan oleh Nella Kharisma bergema di penjuru kamarku. Siapa yang menyetelnya? Aku bertanya-tanya. Lagu itu tidak mengganggu sama sekali, melainkan liriknya membangkitkan segenap kenanganku.
Aku mulai bernyanyi, mengikuti alunan musik, hingga sampai di lirik yang menjadi andalannya..

“Jangankan untuk bertemu
Memandang pun saja sudah tak boleh
Apalagi menyanyi bersama bagai hari lalu”

Aku terdiam. Mercerna beberapa kata-katanya. Kemudian diikuti lirik berikutnya. 

“Jangankan mengirim surat
Menitip salam pun sudah tak boleh
Ternyata memang kau tercipta bukan untukku”

Lagu itu pun usai, aku tertawa, tawa yang tak bisa dijelaskan letak lucunya di sebelah mana. Kembali ke meja laptop, sembarang menyetel musik, kini lagu Lady Gaga – I’ll never love again mengalun pelan. Liriknya yang kontras dengan lagu sebelumnya mampu membuatku tak berkutik. Untuk beberapa saat aku terdiam, menghayati arti dari lirik tersebut. Sial, terlalu dalam untuk orang yang baru kehilangan. Aku menarik nafas, mencoba lebih rileks, lantas melanjutkan tulisanku yang belum separuhnya jadi.

Jakarta Selatan – Bogor, November 2018.

Dengan langkah panjang-panjang menuruni JPO, berusaha mengejar waktu sampai di tempat tujuan. Aku akhirnya sampai di Stasiun terdekat, menempelkan kartu perjalanan kereta, sejurus kemudian berlari-lari kecil kearah peron stasiun tujuan Bogor. Terdengar nafas naik-turun, kelelahan. Ular besi pun menepi, menurunkan sejumlah penumpang, kemudian mengangkut penumpang lainnya, termasuk diriku. Di dalam kereta, debar dada ini tak bisa dipungkiri, seperti waktu bertemu untuk kali pertama. Aku mengambil sebuah novel dari dalam tas, usaha menekan rasa lancang di hati.

Perjalanan kurang lebih separuh jam itu selesai. Kereta berhenti di stasiun Bogor. Menjejakan kaki di lingkupi rasa bahagia. Sebelumnya, aku hendak ke kamar mandi, mematut diri, merapikan setelan pakaianku yang sedikit lecak di salah satu sisi. Lalu, bergegas mengunjungi sebuah taman di sekitaran Kebun Raya Bogor. Di taman itulah, tepatnya di undakan paling atas aku terduduk. Sendiri.

Di bawah pohon rindang, terpaan sinar matahari yang jatuh melewati celah-celah ranting, aroma petrichor, dan sebagai pelengkap kesiur angin. Aku menyukai tempat ini, meski tanpa ditemani siapa pun. Saat itu yang tertanam dalam otakku adalah “Menulislah, menulislah”.


“Apa yang kau lakukan seorang diri di sini?”
Aku mengangkat kepala, menatap lurus.
“Aku sedang mencari inspirasi”
Lengang, hanya daun kering yang berguling-guling diterpa angin.
“Yakin hanya itu? tidak ada yang lainnya”
Pertanyaan itu sungguh mengusik. Aku hendak menjawab, namun sesuatu menahanku.
“Katakan saja, tak akan ada yang membocorkannya”
“Baiklah, aku akan jujur.”
“Jawablah pertanyaanku sebelumnya”
“Di sini, di taman ini, aku…aku..”
Suaranya hilang begitu saja.
“Iya, kau kenapa?”
Menanti jawaban.
“Aku, kan sudah kubilang aku mencari inspirasi untuk menulis di sini, di taman ini, latar tempatnya sesuai dengan jalan cerita yang kubuat”
“Hmm”
“Kau masih berkomunikasi dengannya?
“Dengan siapa?”
“Jangan mengelabui dirimu sendiri”
Terdengar tarikan nafas tertahan.
“Masih.”
“Kenapa?”
“Aku hanya ingin menjadi seutuhnya, bukan sebutuhnya”
“Oh, dia memperlakukanmu sebutuhnya?”
Memejamkan mata.
“Aku tak bisa menjawabnya”
“Kau bisa, hanya saja tidak terlalu berani”
Aku meremas kertas tulisanku sekuatnya, sampai terlihat lecak di sana-sini.
“Lihatlah, tanpa kau berbicara gesturmu sudah menunjukkan jawabannya.
Aku lagi-lagi menunduk.
“Kau juga menulis untuknya kan”
Kali ini dia tersenyum.
“Iya, aku menulis tentangnya”
“Bukankah dia tak suka membaca?”
“Memang.”
“Lalu, untuk apa capek-capek menulis untuk suatu karya yang tidak dihargai”
“Aku pelupa, dengan menulis, aku mengabadikannya.”
“Alasan”
Lengang.
“Apa kau masih mengharapkannya hadir di sini…”
“Iya dan tidak, untuk beberapa hal, aku lebih baik mundur perlahan, mencari jalan lain”
Lihatlah kedua matanya mengembun.
“Kau menangis?”
“Tidak”
“Tak apa, keluarkan saja”
Aku mengambil selembar tissue, menahan lelehan air mata.
Terdengar sesenggukan kecil.
“Kau pasti sedang merindukannya kan, sampai rela jauh-jauh ke taman ini”
Lagi-lagi pertanyaan itu menggaung.
“Aku ke taman ini pertama, untuk mencari ide menulis seperti yang kukatakan tadi, ya sekalian menghirup udara sejuk. Kedua, aku di taman ini sedang menapak tilas tentang apa yang pernah terjadi di sini, di taman ini.
Tak ada keraguan dalam tutur katanya, mantap.
“Tapi kau merindukannya bukan?”
Ah, pertanyaan itu.
“Ya, aku memang merindukannya, ta…tapi aku sadar, a…aku…”
Kalimatnya terpotong, hening.
“Sudah kau tak perlu lagi menjawabnya, kedua matamu sudah berbicara jujur sedari awal”
Aku tertawa, tersipu malu mengakuinya.
“Sekarang, mengapa kau tak memberi kabar padanya bahwa kau sering mampir ke taman ini?”
“Aku hanya tidak mau mengganggunya lagi”
“Gengsi.”
Senyap.
“Benarkan kau gengsi menghubunginya duluan?”
Matanya mengerjap-ngerjap.
“Untuk apa aku gengsi dalam hal yang berkaitan dengan hati? Untuk apa? Aku lebih baik mengutarakan kepadanya, terserah dia mau mengganggap aku ini apa, terserah. Yang penting aku lega!”
Dia terlihat berapi-api, tapi di akhiri senyum mengembang.
“Kalau dia membaca tulisanmu ini, apa yang ingin kau katakan padanya?”
Hening.
Dia terlihat memikirkan sesuatu.
Satu menit.
Lima menit berlalu.
Nafasnya terasa lebih berat.
“Aku hanya ingin mengatakan…”
 









Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar