Stasiun
kereta - Jakarta, pukul 20:35
Aku terduduk di salah satu peron
tunggu stasiun, menunggu kedatangan kereta malam yang hendak membawa ragaku
pergi menjauh dari kota kecil penyangga Ibu kota. Angin malam berebut masuk
menembus jaket, dinginnya sampai menusuk tulang.
Kulihat
dua turis perempuan berjalan dengan santai di hadapanku sambil mengobrol,
masing-masing dari mereka menggendong satu tas ransel berukuran besar, ditambah
satu dua tas ukuran kecil di kedua lengan mereka. Aku geleng-geleng kepala
sekaligus takjub. Repot sekali gumamku, namun yang kutangkap dari wajah mereka
tidak sedikit pun mencerminkan adanya kerepotan, sebaliknya mereka terlihat
bahagia dan menikmatinya, sama seperti perasaanku malam itu.
Ponselku
bergetar, aku sigap menyambarnya, tidak sabar rasanya ingin langsung
membukanya. Beberapa pesan terlampir, ternyata darinya, senyumku mengembang. Lantas
sekejap sudah membaca isi pesan, aku tersenyum kembali, kali ini diikuti mata
yang mengerjap-ngerjap kegirangan. Aku pernah merasakan seperti ini beberapa
waktu lalu, dan kini terulang kembali. Tentu dengan orang yang berbeda, berbeda
dari segala hal.
Kereta
malam menepi, aku ringan melangkahkan kaki ke dalam rangkaian kereta, kemudian
mencari nomor kursi yang akan kududuki. Lima belas menit kemudian bunyi klakson
terdengar nyaring, diikuti deru roda kereta bergerak, sinyal melanjutkan
perjalanan. Malam itu sampai dini hari, bukan hanya sebuah novel yang menemani malam
panjangku, tetapi kau pun juga, melalui pesan-pesan yang kau kirimkan. Aku
selalu tersenyum ketika mengingat hal itu bahkan ketika aku mengetikkan kisah
ini di laptop. Sampai akhirnya senyum itu memudar, tersadar kejadian itu sudah
berlalu, sudah cukup untuk dikenang saja, tidak lebih.
“Udah
sampai daerah mana?”
“Tidur
sana, udah malam”
“Banyak
nyamuk tau, aku digigitin huhu”
“Aku
kan pake autan jadinya, sambil selimutan hahaha”
“Kamu
udah makan belum? Jangan lupa makan, nyampe tujuan masih lama kan :p”
“Aku
makannya nambah masa, laper banget abisnya hahaha”
Begitulah
kiranya dia menghujaniku dengan berbagai pesan, dan lebih banyak lagi. Bahkan
aku acap kali nyengir membaca pesan darinya, bukan saja menghibur tapi juga
menggelikan. Malam itu kuhabiskan bersamanya dengan berbalas pesan, entah sudah
berapa banyak pesan masuk dan terkirim. Untunglah, jaringan seluler kala itu
berpihak padaku.
Malam
kian larut, kulihat sudah banyak orang jatuh tertidur. Hanya empat lima orang
yang masih terjaga, termasuk aku. Pemandangan gelap di luar jendela yang kabur,
tersaji seiring kereta yang memelesat. Aku merapatkan jaket, meski kereta yang
kutumpangi terisi penuh oleh penumpang, udara dingin terus menguar dari pendingin
udara. Sesekali aku melemaskan tulang belulangku yang mulai terasa pegal karena
terlalu lama duduk, lalu dilanjutkan dengan menjentikkan jemariku yang kebas
karena terus-menerus menggenggam ponsel.
Waktu
menunjukkan pukul 23.40 aku memutuskan untuk makan malam, lebih tepatnya menghabiskan
bekal dari rumah sebelum lauk-pauknya membasi. Sejujurnya aku malas sekali,
perutku memang lapar namun entah mengapa nafsuku menghilang. Kupikir nafsu
makanku sudah beralih fungsi menjadi tenaga yang disalurkan agar tetap terlihat
segar di jam malam ini. Seperti kebanyakan orang, setelah makan aku mulai
mengantuk, kesadaranku mulai menipis, ditambah terlalu lama menatap layar
ponsel membuat kedua penglihatanku terasa sepat dan perih. Pada akhirnya aku
memutuskan untuk tidur. Tidur dalam posisi debar di dada, tak karuan~
****
Tangisan bayi di seberang tempat
dudukku, membangunkanku dari tidur pendekku. Yap, aku baru terlelap dua jam dan
kini sudah terbangun kembali. Kesal? Ah tidak juga, bukan dengan begitu aku
bisa mengecek notifikasi pesan masuk ke dalam ponselku? Justru aku berterima
kasih pada adik bayi yang menangis itu, berkat tangisannya aku dapat melanjutkan
berbalas pesan dengannya. Hahahaha! Crazy.
Pukul
01.10 dini hari
“Eh,
aku lagi nonton bola loh”
“Dingin
tau di sini~”
Scroll
scroll dan scroll. Ada pesan masuk darinya setengah jam yang lalu, aku enteng
membukanya, sejurus kemudian tersenyum membaca isinya. Aku mengetikan kalimat
kalimat, lantas mengirimkannya. Rupanya dia juga belum tidur, lebih tepatnya
sedang begadang menonton klub bola kesayangannya. Sepanjang dini hari sampai
azan subuh berkumandang dari kejauhan, kami baru mengakhiri berbalas pesan.
Setelah itu aku melanjutkan tidur, dia? kurasa salat subuh lantas kembali
tidur.
Sekitar
pukul 6 pagi, aku kembali terbangun. Mengucek-ngucek mata yang terasa berat
sekali untuk di buka. Kereta api berhenti di tengah perjalanan, menunggu
antrian masuk stasiun berikutnya. Sejurus kemudian kereta sudah menepi di salah
satu peron stasiun. Aku lupa nama stasiunnya, yang jelas hingga sampai tujuan
akhir masih membutuhkan waktu dua jam lagi. Aku bangkit dari kursiku menuju
kamar kecil, cuci muka dsbnya. Kereta terlihat mulai sepi penumpang, sebagian
sudah turun di stasiun tujuannya. Usai dari kamar kecil, aku berpindah ke
kereta lain yang hanya diisi dua tiga penumpang. Embusan pendingin udara di
sini sangat terasa sekali, aku tak henti-hentinya mengusap-ngusap kedua telapak
tanganku. Tak kuat dinginnya suhu dalam kereta, aku inisiatif mengambil sarung
tangan berwarna biru yang memang sudah kupersiapkan sebelum perjalanan,
mengingat suhu udara di tempat yang akan kukunjungi adalah dataran tinggi.
Sarung tangan itupun membantuku banyak.
Ponselku
bergetar, tiga pesan terlampir;
“Selamat
pagi :)”
“Kamu
sudah sampai belum?”
“Aku
baru bangun tidur nih hehe”
Aku
yang sedang menyandarkan kepala di kursi, tersenyum, belum berniat membalasnya.
Pemandangan Gunung Slamet dan hamparan sawah menghijau seluas-luasnya menyita
perhatianku. Sesekali aku melongo, seringnya aku mengucapkan kalimat indah
kepadaNya. Kepulan asap teh panas yang baru disajikan seorang pramugara,
terhidang di hadapanku. Aku tersenyum kepadanya, mengucapkan terima kasih.
Setelah ia berlalu, aku kembali terpukau melihat keindahan di luar jendela
kereta. Aku mengabadikan momen tersebut dalam ponselku, tidak banyak, hanya
secukupnya saja. Lebih banyak kuabadikan dalam ingatanku. Ponselku bergetar
sekali lagi, satu pesan terbaru terlampir, masih darinya,
“Haiiiii
belum bangun ya?”
(GIF
meledek)
Aku
kembali tersenyum, sedikit gemas dalam hati “tidak sabaran sekali dia” lantas
membalas pesannya. Sejak itu, aku dengannya terus berbalas pesan. Tidak terasa,
kereta pun menepi di stasiun akhir, aku bergegas, menggendong ransel, menuruni
tangga kereta yang telah disiapkan. Kedua mataku tak henti-hentinya mengedarkan
pandangan ke segala penjuru stasiun. Setelah dirasa cukup, aku menyebrangi
rel-rel kereta yang kosong. Berpindah ke peron lain. Duduk sejenak, sembari
memberi kabar padanya bahwa aku hampir sampai ke tempat tujuan.
****
Sebelumnya aku minta maaf atas segala kalimat
pendek atau panjang yang pernah kukirimkan melalui aplikasi pesan. Mungkin
sebab itu satu dua pesanku tidak kunjung berbalas. Aku bisa menerimanya, meski sebagian
hatiku memberontak, menuntut sebuah penjelasan.
Kala
itu hari-hariku lebih banyak diisi oleh sebuah penantian. Berharap kau sudi
membalas pesanku. Satu jam, satu minggu, hingga satu bulan berlalu, tetap tak
ada tanda-tanda pesan dibalas. Aku menggigit bibir, rupanya kau sudah memblokir
nomorku entah sejak kapan dan aku baru mengetahuinya. Perih rasanya.
Sekali
lagi maafkan aku, hatiku memaksa untuk menulis kisah ini.
****
Pada awalnya kisah ini memang berjalan
sesuai dengan semestinya. Bahkan terasa manis seperti prasangka kalian setelah
membaca sebagian isi ceritanya. Ah, es teh manispun terasa manis di awal bukan?
Lantas lama-kelamaan terasa hambar di akhir. Yap, kisah inipun begitu adanya. Sengaja
tak kubuat bersambung atau kutamatkan.
Sebenarnya
mudah sekali untukku menuliskan namanya yang hanya sepenggal itu, tapi setelah
kupikir masak-masak untuk apa? Hahaha. Tulisan ini juga tidak bermaksud untuk
memojokkan dirinya, sungguh bukan. Aku hanya ingin mengabadikan tulisanku, dipenghujung
tahun 2017 lalu, yang sempat tertunda penerbitannya di blog ini. Tidak lebih
dan tidak kurang.
Dari kisahku dengannya, aku mengambil
pelajaran, untuk tidak meninggalkan seseorang begitu saja apalagi pergi tanpa
alasan yang jelas , kalian pasti mengerti arah maksud kisahku ini. Kalaupun ingin
meninggalkan, setidaknya pamit terlebih dahulu, sulit, memang. Tapi alangkah
lebih baik untuk ketenangan bersama. Ini kutuliskan untuk siapapun tanpa
merujuk pada satu dua orang. Mencoba pamit saja rasanya sudah tak karuan
setengah mati, bagaimana dengan yang ditinggalkan begitu saja tanpa sepengetahuan.
Sakit. Perih. Pasti. Belum lagi banyak rasa yang telah bercampur, entah menjadi
rasa cinta, rasa nyaman, rasa sayang, rasa memiliki atau rasa tak ingin
melepaskan. Tentang rasa memang tak pernah sesederhana yang dikira, walalupun
hanya menganggap sebagai teman atau adik-kakak beda orang tua.
Jujur
aku tak pernah paham apa alasannya pergi begitu saja, apalagi setelah dia
memutuskan pergi, semua media sosialku yang belum genap berumur dua minggu
saling berteman itu, ikut-ikutan diblokir olehnya. Untuk ukuran laki-laki
berumur 24 tahun, aku berpendapat ia terlalu kekanak-kanakan. Apa dia
berpikiran, aku akan meneror semua media sosialnya? Hahaha.
Sebelum
benar-benar mengakhiri tulisan ini, aku juga ingin mengucapkan terima kasih
padanya. Berkatnya aku tidak terlalu merasa bosan dan gabut di dalam kereta,
tetapi yang lebih lebih, aku jadi punya bahan cerita untuk kutuliskan di blog.
Hahahahaha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar