Sabtu, 30 Juni 2018

Penghujung Tahun 2017



Stasiun kereta - Jakarta, pukul 20:35

Aku terduduk di salah satu peron tunggu stasiun, menunggu kedatangan kereta malam yang hendak membawa ragaku pergi menjauh dari kota kecil penyangga Ibu kota. Angin malam berebut masuk menembus jaket, dinginnya sampai menusuk tulang.

Kulihat dua turis perempuan berjalan dengan santai di hadapanku sambil mengobrol, masing-masing dari mereka menggendong satu tas ransel berukuran besar, ditambah satu dua tas ukuran kecil di kedua lengan mereka. Aku geleng-geleng kepala sekaligus takjub. Repot sekali gumamku, namun yang kutangkap dari wajah mereka tidak sedikit pun mencerminkan adanya kerepotan, sebaliknya mereka terlihat bahagia dan menikmatinya, sama seperti perasaanku malam itu.

Ponselku bergetar, aku sigap menyambarnya, tidak sabar rasanya ingin langsung membukanya. Beberapa pesan terlampir, ternyata darinya, senyumku mengembang. Lantas sekejap sudah membaca isi pesan, aku tersenyum kembali, kali ini diikuti mata yang mengerjap-ngerjap kegirangan. Aku pernah merasakan seperti ini beberapa waktu lalu, dan kini terulang kembali. Tentu dengan orang yang berbeda, berbeda dari segala hal.

Kereta malam menepi, aku ringan melangkahkan kaki ke dalam rangkaian kereta, kemudian mencari nomor kursi yang akan kududuki. Lima belas menit kemudian bunyi klakson terdengar nyaring, diikuti deru roda kereta bergerak, sinyal melanjutkan perjalanan. Malam itu sampai dini hari, bukan hanya sebuah novel yang menemani malam panjangku, tetapi kau pun juga, melalui pesan-pesan yang kau kirimkan. Aku selalu tersenyum ketika mengingat hal itu bahkan ketika aku mengetikkan kisah ini di laptop. Sampai akhirnya senyum itu memudar, tersadar kejadian itu sudah berlalu, sudah cukup untuk dikenang saja, tidak lebih.

“Udah sampai daerah mana?”
“Tidur sana, udah malam”
“Banyak nyamuk tau, aku digigitin huhu”
“Aku kan pake autan jadinya, sambil selimutan hahaha”
“Kamu udah makan belum? Jangan lupa makan, nyampe tujuan masih lama kan :p”
“Aku makannya nambah masa, laper banget abisnya hahaha”

Begitulah kiranya dia menghujaniku dengan berbagai pesan, dan lebih banyak lagi. Bahkan aku acap kali nyengir membaca pesan darinya, bukan saja menghibur tapi juga menggelikan. Malam itu kuhabiskan bersamanya dengan berbalas pesan, entah sudah berapa banyak pesan masuk dan terkirim. Untunglah, jaringan seluler kala itu berpihak padaku.

Malam kian larut, kulihat sudah banyak orang jatuh tertidur. Hanya empat lima orang yang masih terjaga, termasuk aku. Pemandangan gelap di luar jendela yang kabur, tersaji seiring kereta yang memelesat. Aku merapatkan jaket, meski kereta yang kutumpangi terisi penuh oleh penumpang, udara dingin terus menguar dari pendingin udara. Sesekali aku melemaskan tulang belulangku yang mulai terasa pegal karena terlalu lama duduk, lalu dilanjutkan dengan menjentikkan jemariku yang kebas karena terus-menerus menggenggam ponsel.

Waktu menunjukkan pukul 23.40 aku memutuskan untuk makan malam, lebih tepatnya menghabiskan bekal dari rumah sebelum lauk-pauknya membasi. Sejujurnya aku malas sekali, perutku memang lapar namun entah mengapa nafsuku menghilang. Kupikir nafsu makanku sudah beralih fungsi menjadi tenaga yang disalurkan agar tetap terlihat segar di jam malam ini. Seperti kebanyakan orang, setelah makan aku mulai mengantuk, kesadaranku mulai menipis, ditambah terlalu lama menatap layar ponsel membuat kedua penglihatanku terasa sepat dan perih. Pada akhirnya aku memutuskan untuk tidur. Tidur dalam posisi debar di dada, tak karuan~
****

Tangisan bayi di seberang tempat dudukku, membangunkanku dari tidur pendekku. Yap, aku baru terlelap dua jam dan kini sudah terbangun kembali. Kesal? Ah tidak juga, bukan dengan begitu aku bisa mengecek notifikasi pesan masuk ke dalam ponselku? Justru aku berterima kasih pada adik bayi yang menangis itu, berkat tangisannya aku dapat melanjutkan berbalas pesan dengannya. Hahahaha! Crazy.

Pukul 01.10 dini hari
“Eh, aku lagi nonton bola loh”
“Dingin tau di sini~”

Scroll scroll dan scroll. Ada pesan masuk darinya setengah jam yang lalu, aku enteng membukanya, sejurus kemudian tersenyum membaca isinya. Aku mengetikan kalimat kalimat, lantas mengirimkannya. Rupanya dia juga belum tidur, lebih tepatnya sedang begadang menonton klub bola kesayangannya. Sepanjang dini hari sampai azan subuh berkumandang dari kejauhan, kami baru mengakhiri berbalas pesan. Setelah itu aku melanjutkan tidur, dia? kurasa salat subuh lantas kembali tidur.

Sekitar pukul 6 pagi, aku kembali terbangun. Mengucek-ngucek mata yang terasa berat sekali untuk di buka. Kereta api berhenti di tengah perjalanan, menunggu antrian masuk stasiun berikutnya. Sejurus kemudian kereta sudah menepi di salah satu peron stasiun. Aku lupa nama stasiunnya, yang jelas hingga sampai tujuan akhir masih membutuhkan waktu dua jam lagi. Aku bangkit dari kursiku menuju kamar kecil, cuci muka dsbnya. Kereta terlihat mulai sepi penumpang, sebagian sudah turun di stasiun tujuannya. Usai dari kamar kecil, aku berpindah ke kereta lain yang hanya diisi dua tiga penumpang. Embusan pendingin udara di sini sangat terasa sekali, aku tak henti-hentinya mengusap-ngusap kedua telapak tanganku. Tak kuat dinginnya suhu dalam kereta, aku inisiatif mengambil sarung tangan berwarna biru yang memang sudah kupersiapkan sebelum perjalanan, mengingat suhu udara di tempat yang akan kukunjungi adalah dataran tinggi. Sarung tangan itupun membantuku banyak.
Ponselku bergetar, tiga pesan terlampir;

“Selamat pagi :)
“Kamu sudah sampai belum?”
“Aku baru bangun tidur nih hehe”

Aku yang sedang menyandarkan kepala di kursi, tersenyum, belum berniat membalasnya. Pemandangan Gunung Slamet dan hamparan sawah menghijau seluas-luasnya menyita perhatianku. Sesekali aku melongo, seringnya aku mengucapkan kalimat indah kepadaNya. Kepulan asap teh panas yang baru disajikan seorang pramugara, terhidang di hadapanku. Aku tersenyum kepadanya, mengucapkan terima kasih. Setelah ia berlalu, aku kembali terpukau melihat keindahan di luar jendela kereta. Aku mengabadikan momen tersebut dalam ponselku, tidak banyak, hanya secukupnya saja. Lebih banyak kuabadikan dalam ingatanku. Ponselku bergetar sekali lagi, satu pesan terbaru terlampir, masih darinya,

“Haiiiii belum bangun ya?”
(GIF meledek)

Aku kembali tersenyum, sedikit gemas dalam hati “tidak sabaran sekali dia” lantas membalas pesannya. Sejak itu, aku dengannya terus berbalas pesan. Tidak terasa, kereta pun menepi di stasiun akhir, aku bergegas, menggendong ransel, menuruni tangga kereta yang telah disiapkan. Kedua mataku tak henti-hentinya mengedarkan pandangan ke segala penjuru stasiun. Setelah dirasa cukup, aku menyebrangi rel-rel kereta yang kosong. Berpindah ke peron lain. Duduk sejenak, sembari memberi kabar padanya bahwa aku hampir sampai ke tempat tujuan.

****

Sebelumnya aku minta maaf atas segala kalimat pendek atau panjang yang pernah kukirimkan melalui aplikasi pesan. Mungkin sebab itu satu dua pesanku tidak kunjung berbalas. Aku bisa menerimanya, meski sebagian hatiku memberontak, menuntut sebuah penjelasan.

Kala itu hari-hariku lebih banyak diisi oleh sebuah penantian. Berharap kau sudi membalas pesanku. Satu jam, satu minggu, hingga satu bulan berlalu, tetap tak ada tanda-tanda pesan dibalas. Aku menggigit bibir, rupanya kau sudah memblokir nomorku entah sejak kapan dan aku baru mengetahuinya. Perih rasanya.

Sekali lagi maafkan aku, hatiku memaksa untuk menulis kisah ini.

****

Pada awalnya kisah ini memang berjalan sesuai dengan semestinya. Bahkan terasa manis seperti prasangka kalian setelah membaca sebagian isi ceritanya. Ah, es teh manispun terasa manis di awal bukan? Lantas lama-kelamaan terasa hambar di akhir. Yap, kisah inipun begitu adanya. Sengaja tak kubuat bersambung atau kutamatkan.

Sebenarnya mudah sekali untukku menuliskan namanya yang hanya sepenggal itu, tapi setelah kupikir masak-masak untuk apa? Hahaha. Tulisan ini juga tidak bermaksud untuk memojokkan dirinya, sungguh bukan. Aku hanya ingin mengabadikan tulisanku, dipenghujung tahun 2017 lalu, yang sempat tertunda penerbitannya di blog ini. Tidak lebih dan tidak kurang.

Dari kisahku dengannya, aku mengambil pelajaran, untuk tidak meninggalkan seseorang begitu saja apalagi pergi tanpa alasan yang jelas , kalian pasti mengerti arah maksud kisahku ini. Kalaupun ingin meninggalkan, setidaknya pamit terlebih dahulu, sulit, memang. Tapi alangkah lebih baik untuk ketenangan bersama. Ini kutuliskan untuk siapapun tanpa merujuk pada satu dua orang. Mencoba pamit saja rasanya sudah tak karuan setengah mati, bagaimana dengan yang ditinggalkan begitu saja tanpa sepengetahuan. Sakit. Perih. Pasti. Belum lagi banyak rasa yang telah bercampur, entah menjadi rasa cinta, rasa nyaman, rasa sayang, rasa memiliki atau rasa tak ingin melepaskan. Tentang rasa memang tak pernah sesederhana yang dikira, walalupun hanya menganggap sebagai teman atau adik-kakak beda orang tua.

Jujur aku tak pernah paham apa alasannya pergi begitu saja, apalagi setelah dia memutuskan pergi, semua media sosialku yang belum genap berumur dua minggu saling berteman itu, ikut-ikutan diblokir olehnya. Untuk ukuran laki-laki berumur 24 tahun, aku berpendapat ia terlalu kekanak-kanakan. Apa dia berpikiran, aku akan meneror semua media sosialnya? Hahaha.

Sebelum benar-benar mengakhiri tulisan ini, aku juga ingin mengucapkan terima kasih padanya. Berkatnya aku tidak terlalu merasa bosan dan gabut di dalam kereta, tetapi yang lebih lebih, aku jadi punya bahan cerita untuk kutuliskan di blog. Hahahahaha.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar