Senin, 08 Januari 2018

Berpisah di Stasiun Bandung (bagian dua)



Pria itu tersenyum merekah, sembari mengulurkan tangannya, lantas mengajakku untuk berjabat tangan. Aku balas tersenyum, kemudian dengan senang hati menerima ulurannya. Mas Ganang, pria itu yang kumaksud. Berperawakan tinggi semampai, hidung bangir, rambut ikal, di pipi kirinya tersembul lesung pipit, kacamata berbingkai hitam, kaos lengan pendek warna abu-abu, celana jeans warna navy, mengenakan tas ukuran kecil yang ia selempangkan di dada, dan satu ransel ukuran sedang yang ditaruh di atas kabin bagasi. Sepersekian detik aku mengamatinya. Lantas kembali menyibukkan diri, tersadar ia telah menyita waktuku untuk memperhatikannya. 

Awalnya aku takut, bagaimanapun ia adalah orang baru yang kutemui dan sama sekali tidak kukenali, ditambah banyak pertanyaan yang aku rasa tidak penting, yang ia tanyakan padaku. Cowok bawel pekikku, sambil tersenyum kecut. Ketika itu, Jihan belum menampakkan batang hidungnya. Posisiku serba salah, mengabaikan seseorang yang sedang berbicara dengan kita tentu perbuatan kurang sopan, jadilah aku menanggapi berbagai pertanyaannya. Terpaksa. Terkadang aku mengangguk, bentuk mengiyakan, lebih sering menjawab sekenanya. Sungguh maafkan aku, Mas Ganang, jika kau membaca tulisan ini.
***

            Bandung cerah siang itu. Setelah menempuh puluhan kilometer lebih, kereta akhirnya menepi disalah satu peron. Aku dan Jihan meloncat dari pintu kabin kereta, lantas tertawa riang saat kedua kaki menapaki setapak jalan aspal di pinggiran peron. Itu kami lakukan, dikarenakan di gerbong terdepan tidak tersedia tangga portable untuk menuruni kereta. Sejurus kemudian aku mengedarkan pandangan, mengamati interior Stasiun Bandung. Ada kelegaan dalam dada telah sampai di Bumi Parahyangan, meski belum benar-benar sampai ditujuan akhir. Aku dan Jihan berjalan bersisian, sesekali bersenda gurau. Stasiun Bandung kala itu ramai, seramai pikiranku disesaki berbagai hal.

Perlu diketahui, sejak Mas Ganang memisahkan diri lantas berkumpul bersama rombongannya, sesungguhnya kami berdua mencari-cari keberadaannya. Memastikan dirinya belum meninggalkan Stasiun Bandung seutuhnya, lebih jelasnya kami mengkhawatirkannya. Khawatir? Entahlah apa namanya. Aku dan Jihan berhenti di setiap sudut-sudut Stasiun, dengan bermacam-macam alasan. Jihan beralasan ingin menghubungi keluarganya, padahal aku tahu sekali di samping itu kedua matanya tajam mengedarkan pandangan ke segala arah, mencari seseorang. Aku mengusap dahi, bagaimanalah akupun melakukan hal yang sama sepertinya, hanya saja berbeda gaya. Aku duduk di bangku panjang yang disediakan di selasar Stasiun, sembari  menunggu Jihan selesai menghubungi keluarganya, sesekali mataku mencuri-curi, mengamati setiap orang yang berlalu lalang. Sayang, sosok Mas Ganang bagai di telan Bumi. Nihil. 

Aku bangkit berdiri, berjalan mensejajari Jihan menuju pintu keluar. Sementara itu seseorang yang kami berdua cari sedari tadi, enteng menepuk pundakku sambil berjalan terburu-buru membelakangi temannya. Mas Ganang mengucapkan salam perpisahan, disusul ucapan minta maaf tidak bisa ikut serta berswafoto disalah satu spot di Stasiun Bandung. Aku dan Jihan bertukar pandang, tertegun. Apa maksudnya?. Tak lama, tangan kanannya yang sedang menggenggam ponsel berlambang buah apel itu terangkat. Melambaikan tangan. Jihan berseru pendek, sedangkanku refleks membalas “Hati-hati di jalan, Mas.” disambut senyum semringahnya. Kemudian sosoknya hilang di kelokan pintu.

Setiap pertemuan pasti diiringi perpisahan, gumamku dalam hati.

Jihan menyentuh lenganku, mengajakku keluar dari area Stasiun, mencari tempat persinggahan sementara, musala terdekat. Aku mengangguk, mengekor di belakangnya. Sepanjang perjalanan, kami hanya berdiam diri, saling menutupi rasa kehilangan.
***

Beberapa jam sebelumnya. 
                                                                                 
Jihan berbisik padaku, menunjukkan sesuatu di ponselnya. Aku acuh tak acuh, sedang sibuk membalas pesan masuk mengenai kepulanganku sore nanti. Demi mendapat perhatianku, Jihan menaruh ponselnya tepat di depan wajahku, berusaha menghalangi. Aku menarik nafas dalam-dalam, mengalah. Langsung kualihkan pandanganku ke ponselnya. Seketika ada rasa berbeda menelikung, Jihan menaruh telunjuknya di bibir, menyuruhku menurunkan intensitas suara. Aku cepat menyambar ponsel yang tadi ditaruh sembarang, membuka aplikasi Instagram, mengetikkan sepenggal nama, lantas antara percaya atau tidak. Ya Tuhan, mengapa Engkau patahkan tunas-tunas harapan yang baru tumbuh ini. Aku tau Jihan kecewa, sama kecewanya sepertiku, namun bukan waktu yang pas mengatakan itu secara gamblang. Raut wajahnya terlihat sendu, padahal belum lama ia ceria sekali. Wahai Mas Ganang taukah kau sudah ada dua korban perasaan saat ini? 

Kereta terus melaju, tanpa peduli ada dua anak manusia sedang bermuram durja di dalamnya.

Aku membesarkan hati Jihan, disisi lain akupun bersusah payah membujuk hati ini agar tetap sesuai jalurnya. Fakta bahwa Mas Ganang telah memiliki tambatan hati adalah benar adanya. Jihan tetap berada dalam profil Instagram Mas Ganang, terus mencari fakta-fakta berikutnya. Aku geleng-geleng kepala, gigih sekali ia melakukannya, padahal kutau acap kali hatinya memberontak. 

Pantas saja, kulihat Mas Ganang tak pernah sedikitpun melepas ponselnya, mengetikkan sesuatu dengan cepat, ternyata inilah alasan terbesarnya. 

Lagi lagi kegigihan Jihan kembali membuahkan hasil, fakta selanjutnya mengenai keyakinan Mas Ganang. Aku menelan ludah, sudah cukup bagiku sampai di sini. Jihan meringis, menutup ponselnya dengan kedua tangan. 

“Bagaimana sudah puas?” Aku meledeknya.

“Hahaha, sedikit. Coba lihat deh ceweknya.” Jihan membuka kembali ponselnya lalu menyodorkannya padaku. 

“Tidak ada yang aneh dalam foto itu, Han. Mas Ganang sedang menatap wanitanya, wajar bukan? Mereka sepasang kekasih.” Aku berbicara pelan-pelan, takut yang dimaksud mendengar percakapan kami.

“Coba perhatikan lebih detail, ceweknya terlihat tua!.” Seloroh Jihan.

Aku tak kuasa menahan tawa. Untuk orang yang baru kukenal, Jihan salah satu yang ceplas-ceplos, berbahaya sekali.
Hingga perjalanan berakhir, kami habiskan dengan bertukar cerita, terkadang diselingi swafoto. Meredam rasa kecewa pada Mas Ganang. Eh, tunggu, kecewa? Mmm.
***

Rupanya musala terdekat masih berada pada area Stasiun, aku dan Jihan memutuskan duduk di teras musala, sebelum nantinya menunaikan ibadah salat zuhur. Mengambil sebotol air mineral dingin dari dalam tas, lalu meneguknya perlahan, kurasakan aliran air membasahi kerongkongan yang sudah mulai mengering. Menyegarkan sekali.
Usai salat dan mengemasi satu dua barang. Tibalah pada saat-saat yang amat dihindari setiap manusia. Perpisahan. Satu hari, menghadapi dua perpisahan, kuakui amatlah berat. Apalagi kedua teman baruku itu sudah kuanggap seperti bukan orang asing, melainkan teman akrab. Tapi mau bagaimana lagi, Jihan punya urusan tersendiri begitu pula denganku.

“Jihan, kabari aku sesampainya di tempat tujuan.”

“Jangan lupakan, aku ya!”

“Kasih tau aku misal Mas Ganang WhatsApp kamu.” Tertawa disertai kerlingan mata.

Jihan tersenyum, matanya mengembun, tak kuasa menahan haru.

Satu pelukan erat mendarat halus, kata-kata penyemangat diutarakan dari hati, dan jabat tangan sebagai penutupnya. Bisa kurasakan hawa magis mengungkung kami.

Maka siang itu, sekitar pukul 12.30 berlatarkan Stasiun Bandung dan disaksikan semesta, kami resmi berpisah

Beberapa menit kemudian aku dan Jihan sudah terduduk anggun di atas motor pengemudi online. Saling melambaikan tangan. Siap melanjutkan perjalanan berikutnya, menjadi dua tujuan berbeda, mengarungi jalanan Bandung yang selalu ramai.



Lanjutin Jangan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar