Pria itu tersenyum merekah, sembari
mengulurkan tangannya, lantas mengajakku untuk berjabat tangan. Aku balas tersenyum,
kemudian dengan senang hati menerima ulurannya. Mas Ganang, pria itu yang
kumaksud. Berperawakan tinggi semampai, hidung bangir, rambut ikal, di pipi
kirinya tersembul lesung pipit, kacamata berbingkai hitam, kaos lengan pendek warna
abu-abu, celana jeans warna navy, mengenakan tas ukuran kecil yang ia
selempangkan di dada, dan satu ransel ukuran sedang yang ditaruh di atas kabin
bagasi. Sepersekian detik aku mengamatinya. Lantas kembali menyibukkan diri,
tersadar ia telah menyita waktuku untuk memperhatikannya.
Awalnya aku takut, bagaimanapun ia adalah orang baru yang
kutemui dan sama sekali tidak kukenali, ditambah banyak pertanyaan yang aku
rasa tidak penting, yang ia tanyakan padaku. Cowok bawel pekikku, sambil
tersenyum kecut. Ketika itu, Jihan belum menampakkan batang hidungnya. Posisiku
serba salah, mengabaikan seseorang yang sedang berbicara dengan kita tentu
perbuatan kurang sopan, jadilah aku menanggapi berbagai pertanyaannya. Terpaksa.
Terkadang aku mengangguk, bentuk mengiyakan, lebih sering menjawab sekenanya.
Sungguh maafkan aku, Mas Ganang, jika kau membaca tulisan ini.
***
Bandung
cerah siang itu. Setelah menempuh puluhan kilometer lebih, kereta akhirnya
menepi disalah satu peron. Aku dan Jihan meloncat dari pintu kabin kereta,
lantas tertawa riang saat kedua kaki menapaki setapak jalan aspal di pinggiran
peron. Itu kami lakukan, dikarenakan di gerbong terdepan tidak tersedia tangga
portable untuk menuruni kereta. Sejurus kemudian aku mengedarkan pandangan,
mengamati interior Stasiun Bandung. Ada kelegaan dalam dada telah sampai di
Bumi Parahyangan, meski belum benar-benar sampai ditujuan akhir. Aku dan Jihan
berjalan bersisian, sesekali bersenda gurau. Stasiun Bandung kala itu ramai,
seramai pikiranku disesaki berbagai hal.
Perlu diketahui, sejak Mas Ganang memisahkan diri lantas
berkumpul bersama rombongannya, sesungguhnya kami berdua mencari-cari
keberadaannya. Memastikan dirinya belum meninggalkan Stasiun Bandung seutuhnya,
lebih jelasnya kami mengkhawatirkannya. Khawatir? Entahlah apa namanya. Aku dan
Jihan berhenti di setiap sudut-sudut Stasiun, dengan bermacam-macam alasan.
Jihan beralasan ingin menghubungi keluarganya, padahal aku tahu sekali di
samping itu kedua matanya tajam mengedarkan pandangan ke segala arah, mencari
seseorang. Aku mengusap dahi, bagaimanalah akupun melakukan hal yang sama
sepertinya, hanya saja berbeda gaya. Aku duduk di bangku panjang yang
disediakan di selasar Stasiun, sembari
menunggu Jihan selesai menghubungi keluarganya, sesekali mataku mencuri-curi,
mengamati setiap orang yang berlalu lalang. Sayang, sosok Mas Ganang bagai di
telan Bumi. Nihil.
Aku bangkit berdiri, berjalan mensejajari Jihan menuju pintu
keluar. Sementara itu seseorang yang kami berdua cari sedari tadi, enteng
menepuk pundakku sambil berjalan terburu-buru membelakangi temannya. Mas Ganang
mengucapkan salam perpisahan, disusul ucapan minta maaf tidak bisa ikut serta
berswafoto disalah satu spot di Stasiun Bandung. Aku dan Jihan bertukar
pandang, tertegun. Apa maksudnya?. Tak lama, tangan kanannya yang sedang
menggenggam ponsel berlambang buah apel itu terangkat. Melambaikan tangan.
Jihan berseru pendek, sedangkanku refleks membalas “Hati-hati di jalan, Mas.”
disambut senyum semringahnya. Kemudian sosoknya hilang di kelokan pintu.
Setiap pertemuan pasti diiringi perpisahan, gumamku dalam
hati.
Jihan menyentuh lenganku, mengajakku keluar dari area
Stasiun, mencari tempat persinggahan sementara, musala terdekat. Aku mengangguk,
mengekor di belakangnya. Sepanjang perjalanan, kami hanya berdiam diri, saling
menutupi rasa kehilangan.
***
Beberapa jam sebelumnya.
Jihan berbisik padaku, menunjukkan sesuatu di ponselnya. Aku
acuh tak acuh, sedang sibuk membalas pesan masuk mengenai kepulanganku sore nanti.
Demi mendapat perhatianku, Jihan menaruh ponselnya tepat di depan wajahku,
berusaha menghalangi. Aku menarik nafas dalam-dalam, mengalah. Langsung
kualihkan pandanganku ke ponselnya. Seketika ada rasa berbeda menelikung, Jihan
menaruh telunjuknya di bibir, menyuruhku menurunkan intensitas suara. Aku cepat
menyambar ponsel yang tadi ditaruh sembarang, membuka aplikasi Instagram,
mengetikkan sepenggal nama, lantas antara percaya atau tidak. Ya Tuhan, mengapa
Engkau patahkan tunas-tunas harapan yang baru tumbuh ini. Aku tau Jihan kecewa,
sama kecewanya sepertiku, namun bukan waktu yang pas mengatakan itu secara
gamblang. Raut wajahnya terlihat sendu, padahal belum lama ia ceria sekali.
Wahai Mas Ganang taukah kau sudah ada dua korban perasaan saat ini?
Kereta terus melaju, tanpa peduli ada dua anak manusia
sedang bermuram durja di dalamnya.
Aku membesarkan hati Jihan, disisi lain akupun bersusah
payah membujuk hati ini agar tetap sesuai jalurnya. Fakta bahwa Mas Ganang
telah memiliki tambatan hati adalah benar adanya. Jihan tetap berada dalam
profil Instagram Mas Ganang, terus mencari fakta-fakta berikutnya. Aku
geleng-geleng kepala, gigih sekali ia melakukannya, padahal kutau acap kali
hatinya memberontak.
Pantas saja, kulihat Mas Ganang tak pernah sedikitpun
melepas ponselnya, mengetikkan sesuatu dengan cepat, ternyata inilah alasan
terbesarnya.
Lagi lagi kegigihan Jihan kembali membuahkan hasil, fakta
selanjutnya mengenai keyakinan Mas Ganang. Aku menelan ludah, sudah cukup
bagiku sampai di sini. Jihan meringis, menutup ponselnya dengan kedua tangan.
“Bagaimana sudah puas?” Aku meledeknya.
“Hahaha, sedikit. Coba lihat deh ceweknya.” Jihan membuka
kembali ponselnya lalu menyodorkannya padaku.
“Tidak ada yang aneh dalam foto itu, Han. Mas Ganang sedang menatap
wanitanya, wajar bukan? Mereka sepasang kekasih.” Aku berbicara pelan-pelan,
takut yang dimaksud mendengar percakapan kami.
“Coba perhatikan lebih detail, ceweknya terlihat tua!.”
Seloroh Jihan.
Aku tak kuasa menahan tawa. Untuk orang yang baru kukenal,
Jihan salah satu yang ceplas-ceplos, berbahaya sekali.
Hingga perjalanan berakhir, kami habiskan dengan bertukar
cerita, terkadang diselingi swafoto. Meredam rasa kecewa pada Mas Ganang. Eh,
tunggu, kecewa? Mmm.
***
Rupanya musala terdekat masih berada
pada area Stasiun, aku dan Jihan memutuskan duduk di teras musala, sebelum
nantinya menunaikan ibadah salat zuhur. Mengambil sebotol air mineral dingin
dari dalam tas, lalu meneguknya perlahan, kurasakan aliran air membasahi kerongkongan
yang sudah mulai mengering. Menyegarkan sekali.
Usai salat dan mengemasi satu dua barang. Tibalah pada
saat-saat yang amat dihindari setiap manusia. Perpisahan. Satu hari, menghadapi
dua perpisahan, kuakui amatlah berat. Apalagi kedua teman baruku itu sudah
kuanggap seperti bukan orang asing, melainkan teman akrab. Tapi mau bagaimana
lagi, Jihan punya urusan tersendiri begitu pula denganku.
“Jihan, kabari aku sesampainya di tempat tujuan.”
“Jangan lupakan, aku ya!”
“Kasih tau aku misal Mas Ganang WhatsApp kamu.” Tertawa disertai
kerlingan mata.
Jihan tersenyum, matanya mengembun, tak kuasa menahan haru.
Satu pelukan erat mendarat halus, kata-kata penyemangat diutarakan
dari hati, dan jabat tangan sebagai penutupnya. Bisa kurasakan hawa magis
mengungkung kami.
Maka siang itu, sekitar pukul 12.30 berlatarkan Stasiun
Bandung dan disaksikan semesta, kami resmi berpisah
Beberapa menit kemudian aku dan Jihan sudah terduduk anggun
di atas motor pengemudi online. Saling melambaikan tangan. Siap melanjutkan
perjalanan berikutnya, menjadi dua tujuan berbeda, mengarungi jalanan Bandung
yang selalu ramai.
Lanjutin Jangan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar