Minggu, 19 November 2017

Berpisah di Stasiun Bandung



Sepuluh dari dua belas bulan. Awan pekat menggantung bak jelaga menutupi langit. Hanya soal waktu hujan kembali turun. Kesiur angin semakin terasa. Dingin. Aku merapatkan jaket bermantel cokelat, bergegas menghampiri taxi konvensional menuju stasiun Gambir. Ini kali pertama aku menjejakkan kaki di sana. Sendirian.
Nuansa hijau menyambutku pagi itu. Pagi kesekian ribu.

Aku mengembuskan nafas perlahan, bersyukur datang lebih awal. Jadwal keberangkatan ke Bandung pukul 08:45. Masih ada waktu untukku berleha-leha sejenak, sebelum akhirnya pamit meninggalkan Ibu Kota beserta ingar-bingarnya. Menghempaskan diri di bangku-bangku panjang yang setengahnya telah diisi penumpang dan barang bawaan. Meski ramai, aku merasa kesepian. Berpergian sendiri memang menyenangkan bagi sebagian orang, sebagian lagi merasa butuh teman berbicara dikala menunggu waktu datang. Opsi kedualah pilihanku.

Satu jam sebelum kereta datang, Setelah satu dua dialog basa-basi dengan penumpang lain, aku memutuskan untuk beranjak ke lantai dua. Melewati pintu pemeriksaan tanda pengenal dan tiket keberangkatan. Peron tunggu kereta luar kota. 

Gerimis tipis mulai turun. Kereta Argo Parahyangan perlahan menepi.
Aku antusias. Menyambutnya dengan senyum penuh penghormatan. Walaupun ini bukan kali pertama, momentum seperti ini selalu kunantikan. Takzim. 

Beberapa menit selanjutnya, aku sudah terduduk manis di salah satu gerbong terdepan. Ada kelegaan dalam dada. Hanya tinggal menunggu siapakah seseorang yang akan bersisian denganku sepanjang jalan menuju Bumi Parahyangan. Aku tersenyum simpul. Tidak sabar. Bangku kosong tepat di depanku, mulai diisi oleh seorang pria. Ia menyapaku, bertanya satu dua hal kecil. Aku ramah menjawab. Siapa sangka dialah salah satu orang yang nantinya akrab sepanjang perjalanan.

Gerbong kereta nyaris terisi penuh, menyisakan beberapa tempat kosong. Kabar baiknya, aku telah mendapatkan teman di sampingku. Seorang wanita. Dari atas simpul kemacetan terlihat. Di luar hujan semakin menderas, bilur-bilur air menghantam jendela, jatuh berguguran. Petir menyambar membuat terang, gemerutuk guntur menyalak-nyalak. Meningkahi suara manusia. Wajahku gentar, jerih memandangnya. Lenguhan panjang klakson kereta terdengar. Sejurus kemudian deru roda menggilas batangan rel baja. Kereta sempurna menjauhi peron. 

Namanya Jihan, usianya sepertiku, tepat di depanku namanya Ganang. Aku memanggilnya Mas Ganang. Kami tak saling kenal satu sama lain. Nomer kabin inilah yang mempertemukan. Dimulai ketika aku melontarkan pertanyaan basa-basi ke Jihan lalu disambar oleh Mas Ganang. Obrolan panjangpun terjadi, seputar rutinitas, tinggal di mana, di Bandung tujuannya apa, dan tanya jawab lain-lainnya. Asik sekali, sampai aku lupa sudah berapa stasiun yang sudah dilalui. Seseru itu.  

Kau tahu? Jihan dan Mas Ganang membuat hari itu terasa lebih bervariasi. Mereka dua pribadi yang menyenangkan. Aku senang mendengarkan mereka bercerita. Apa pun itu. Sementara disisi lain aku jengah ditatap lamat-lamat oleh Mas Ganang. Empat matanya seakan berbicara. Aku menyikut lengan Jihan, memulai obrolan baru antara kami berdua. Mas Ganang tentu mengerti. Kembali berkutat mengetik sesuatu di ponselnya. Panjang lebar bercerita pada Jihan. Sesekali diselingi suara tawa. Untunglah posisi duduk kami berada di tempat strategis. Jauh dari pusat perhatian penumpang lain. Mungkin jika situasinya terbalik, aku dan Jihan akan dipelototi galak oleh yang lain. 

Jihan menggodaku. Rupanya ia sudah sejak awal mengamati gerak-gerik Mas Ganang termasuk memergoki tatapan itu. Aku malas berkomentar, lantas mencomot sembarang topik. Bahaya jika yang dimaksud mendengar percakapan kami. Jihan “ber - yah” kecewa, mukanya mengkal, tidak ditanggapi. Aku sontak tertawa. Ekspresi wajahnya lucu sekali.
Mas Ganang demi tahu kami sedang apa, membalikkan setengah badannya. Bertanya apa yang terjadi. Penasaran. Tawaku terhenti, kali ini Jihan yang puas tertawa sembari menutup mulutnya. Mas Ganang bingung, kemudian tersenyum. Aku berdeham, mencoba mencairkan suasana. 

Obrolan ringan kembali terjadi. Semakin seru. Aku mulai terbiasa dengan tatapan itu, ya walaupun kadang menghindar dengan cara mengalihkan pandangan. Bagiku Mas Ganang sosok yang dewasa, cerdas, baik, ramah, santun, dan modis. Terlihat jelas dari tutur bicaranya.  Jihan setuju soal itu. Bukan hanya itu, diam-diam Jihan mengagumi Mas Ganang. Katanya Mas Ganang tipe yang ia cari selama ini, umurnya tidak terlalu muda dan tidak juga terlalu tua. Aku menebak mungkin usianya sekitar 28 tahun. Perpaduan yang pas jika disandingkan denganku. Aku berkelakar. Jihan menyunggingkan bibirnya, tak terima pernyataanku. Kami berdua akhirnya terbahak - bahak, terlalu jauh memikirkan hal-hal semacam itu. Apalagi kami baru bertemu hitungan jam saja.

Entah sudah sampai daerah mana dan stasiun apa. Sepanjang perjalanan kami lebih banyak mengobrol, sekali dua kali melemparkan pandangan ke luar jendela, mencari penyegaran. Pemandangan bukit, jurang tinggi menganga, padi-padi menghijau, rumah warga, aliran-aliran air, jalan setapak, terhampar silih berganti. Bagai lukisan empat dimensi.
Satu setengah jam berlalu, hujan sudah berhenti, digantikan oleh sinar lembut matahari. 

Aku inisiatif mengajak Jihan berswafoto, sebagai kenang-kenangan di hari-hari ke depan. Jihan semangat mengiyakan, turut serta mengajak Mas Ganang. Dahiku mengkerut, sedikit menimbang-nimbang. Bagaimanalah Jihan ini, aku malu satu frame denganya. Lihatlah! Jihan malah santai memberikan ponselnya pada Mas Ganang. Aku mengalah. Bersiap berfoto. Tersenyum menghadap kamera di genggaman Mas Ganang. Satu foto terpampang, hasilnya memuaskan. Aku menyeringai ternyata tidak sekaku yang dibayangkan. Ekspresi Jihan jangan ditanya, dia terlihat tidak ada beban. Mas Ganang demi memenuhi hasrat swafoto, rela lebih rileks dari sebelumnya. Padahal aku tahu sekali dia menahan rasa canggung, sama sepertiku. Bagian paling menggelikan dari swafoto kami bertiga adalah ketika salah satu foto Mas Ganang menjulurkan lidah, aku ingin tertawa melihat ekspresinya. Untunglah aku bisa menahan diri.

Sesi swafoto kami bertiga tidak berlangsung lama, setelah merasa cukup dengan beberapa foto saja. Tetapi aku dan Jihan masih melanjutkan, hanya kami berdua tidak bersama Mas Ganang. Aku lebih enjoy, bebas berekspresi tanpa merasa malu dilihat Mas Ganang. Hasilnya, ada puluhan foto. Berbagai gaya, lebih tepatnya kebanyakan gaya. Slide demi slide terlewati, terkadang berhenti untuk membesarkan foto, memperjelas hasilnya. Aku puas, setidaknya aku punya foto kedua teman baruku itu.

Oh Ibu, gadismu kini bisa tersenyum lebar. Melupakan drama tadi pagi, detik-detik perpisahan denganmu, Bu. 

Aku baru ingat, selama dalam perjalanan ke Bandung, belum sekali pun aku memberi kabar kepada orang rumah. Sejurus itu aku membuka ransel, mencari ponsel, lalu mulai mengetik kalimat-kalimat pendek dan mengirimkannya. Tidak lupa meminta Jihan mengirimkan puluhan swafoto kami melalui WhatsApp. Jihan mengangguk, memintaku menyebutkan nomer ponselku. Aku mengejanya perlahan. Mas Ganang membalikkan badan, ternyata juga meminta hasil swafoto. 

Aku beranjak berdiri menuju toilet, tersadar cukup lama aku menahan buang air kecil. Jihan kulihat mulai menyandarkan kepalanya, tak lama matanya menutup. Tidur. Aku mengembuskan nafas, bergumam dalam hati "Akhirnya, anak itu tumbang juga" lalu melangkah menuju pintu lorong kabin. Usai selesai urusan di toilet, aku kembali ke tempat dudukku. Banyak mata menatapku, aku terus berjalan, tidak mengambil pusing. Mataku menghadap lurus ke depan, Mas Ganang yang duduk dekat bingkai jendela menatap seraya tersenyum. Aku membalas senyumannya, seulas senyum terbaik yang kumiliki. 

Matahari mulai meninggi, daun-daun tertimpa sinarnya. 

Aku sudah terduduk rapi, sebelum benar-benar tertidur, kembali kurapatkan jaket cokelatku, udara dingin menguar dari sela-sela pendingin kabin. 
Rasanya belum lama aku tertidur, Jihan sudah mengguncang-guncangkan tubuhku. Memberi tahu bahwa kereta kami tak lama lagi akan melintasi terowongan. Aku membenarkan posisi duduk, masih sedikit mengantuk. Jihan riang ketika kereta sudah dalam terowongan. Kanan kiri gelap gulita hanya penerangan dari lampu-lampu dalam kereta. Aku melihat sekeliling, penumpang lain banyak yang jatuh tertidur, tidak tertarik dengan pemandangan alam yang disuguhkan. 

Suasana kembali terang setelah beberapa menit lalu kereta keluar dari dalam terowongan. Aku bersiap untuk kembali tidur, setidaknya masih ada jeda waktu sebelum kereta sampai Stasiun Bandung. Namun Jihan menahanku, setengah berbisik mengatakan ingin meminta username Instagramku. Aku menatapnya, yang ditatap malah terkekeh. "Baiklah" aku menyebutkan tujuh huruf. Jihan cepat mengetik di keyboardnya, begitu pula ke Mas Ganang. Jadilah sisa-sisa waktu dihabiskan dengan saling mengikuti di media sosial. Meski aku merasa canggung saat meminta username Mas Ganang.

Sebelum kereta benar-benar berhenti di Stasiun Bandung dan kami akan terpisah menjadi 3 tujuan. Aku patah-patah, mengatakan sepatah dua patah kalimat pada kedua teman baruku itu. Berjanji akan bertemu kembali di Jakarta dalam rentan waktu yang belum ditentukan. Jihan dan Mas Ganang mengangguk bukti menyetujui. Jihan menambahkan sedikit kata-kata, walau di akhir kalimat masih sempat-sempatnya berkelakar memintaku dan Mas Ganang untuk menyukai postingannya di Instagram. Rasanya saat itu juga aku ingin menjawil lengan gempalnya. Urung, Mas Ganang sudah siap-siap menengahi. Kami bertiga pun lantas tertawa.

Kereta berderit sebelum sempurna berhenti, pengumuman-pengumuman mulai mengudara. Para penumpang berdiri, sebagian menurunkan barang bawaan dari atas kabin bagasi, sebagian lagi melangkah menuju pintu kabin. Bersiap keluar dari dalam kereta, menjemput tujuan masing-masing. Aku dan Jihan berada di bagian depan lorong kabin lengkap menggendong ransel di pundak, sedangkan Mas Ganang berada di tengah, membuat jarak. Bukan apa, Mas Ganang kulihat berkumpul bersama rombongannya. Ya, tujuan Mas Ganang ke Bandung antara lain mengenai urusan kantor. 

Pukul 12.01 setelah menempuh puluhan kilometer lebih, kereta tiba di Stasiun Bandung. Para penumpang menuruni tiga anak tangga. Perjalanan tiga jam lebih enam belas menit. Bandung kala itu sedang cerah. Jihan terlihat ceria, Mas Ganang? Entahlah aku tak tau keberadaannya di mana. Aku dan Jihan menyusuri jalanan berkeramik. Berpindah posisi ke sebelah kiri dari arah datangnya kereta. Ada perasaan sedih menyusup dada, sebentar lagi aku akan berpisah dengan kedua teman baru itu. Teman ketemu di kereta. Kedua ujung mataku mulai basah. Buru-buru kuhapus dengan sehelai tisu. Jihan kulihat sedang menelepon seseorang, aku menunggunya, duduk di bangku-bangku panjang. Beberapa menit kemudian Jihan menepuk pundakku, sudah selesai menelepon orang tuanya. Aku beranjak berdiri, bersiap menuju pintu keluar. Secara tiba-tiba Mas Ganang menepuk pundakku dari arah belakang dengan berjalan terburu-buru. Ia mengatakan salam perpisahan kepada kami, di akhiri seulas senyum mengembang dan lambaian tangan. Kemudian sosoknya hilang di kelokan pintu.

Bersambung ke bagian 2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar