Sepuluh dari dua belas bulan. Awan
pekat menggantung bak jelaga menutupi langit. Hanya soal waktu hujan kembali
turun. Kesiur angin semakin terasa. Dingin. Aku merapatkan jaket bermantel cokelat,
bergegas menghampiri taxi konvensional menuju stasiun Gambir. Ini kali pertama
aku menjejakkan kaki di sana. Sendirian.
Nuansa hijau menyambutku pagi itu. Pagi kesekian ribu.
Aku mengembuskan nafas perlahan, bersyukur datang lebih
awal. Jadwal keberangkatan ke Bandung pukul 08:45. Masih ada waktu untukku
berleha-leha sejenak, sebelum akhirnya pamit meninggalkan Ibu Kota beserta
ingar-bingarnya. Menghempaskan diri di bangku-bangku panjang yang setengahnya
telah diisi penumpang dan barang bawaan. Meski ramai, aku merasa kesepian.
Berpergian sendiri memang menyenangkan bagi sebagian orang, sebagian lagi
merasa butuh teman berbicara dikala menunggu waktu datang. Opsi kedualah
pilihanku.
Satu jam sebelum kereta datang, Setelah satu dua dialog
basa-basi dengan penumpang lain, aku memutuskan untuk beranjak ke lantai dua.
Melewati pintu pemeriksaan tanda pengenal dan tiket keberangkatan. Peron tunggu
kereta luar kota.
Gerimis tipis mulai turun. Kereta Argo Parahyangan perlahan
menepi.
Aku antusias. Menyambutnya dengan senyum penuh penghormatan.
Walaupun ini bukan kali pertama, momentum seperti ini selalu kunantikan.
Takzim.
Beberapa menit selanjutnya, aku sudah terduduk manis di
salah satu gerbong terdepan. Ada kelegaan dalam dada. Hanya tinggal menunggu
siapakah seseorang yang akan bersisian denganku sepanjang jalan menuju Bumi Parahyangan.
Aku tersenyum simpul. Tidak sabar. Bangku kosong tepat di depanku, mulai diisi
oleh seorang pria. Ia menyapaku, bertanya satu dua hal kecil. Aku ramah
menjawab. Siapa sangka dialah salah satu orang yang nantinya akrab sepanjang
perjalanan.
Gerbong kereta nyaris terisi penuh, menyisakan beberapa
tempat kosong. Kabar baiknya, aku telah mendapatkan teman di sampingku. Seorang
wanita. Dari atas simpul kemacetan terlihat. Di luar hujan semakin menderas,
bilur-bilur air menghantam jendela, jatuh berguguran. Petir menyambar membuat
terang, gemerutuk guntur menyalak-nyalak. Meningkahi suara manusia. Wajahku
gentar, jerih memandangnya. Lenguhan panjang klakson kereta terdengar. Sejurus
kemudian deru roda menggilas batangan rel baja. Kereta sempurna menjauhi peron.
Namanya Jihan, usianya sepertiku, tepat di depanku namanya
Ganang. Aku memanggilnya Mas Ganang. Kami tak saling kenal satu sama lain. Nomer kabin inilah yang mempertemukan. Dimulai ketika aku melontarkan
pertanyaan basa-basi ke Jihan lalu disambar oleh Mas Ganang. Obrolan panjangpun
terjadi, seputar rutinitas, tinggal di mana, di Bandung tujuannya apa, dan
tanya jawab lain-lainnya. Asik sekali, sampai aku lupa sudah berapa stasiun
yang sudah dilalui. Seseru itu.
Kau tahu? Jihan dan Mas Ganang membuat hari itu terasa lebih
bervariasi. Mereka dua pribadi yang menyenangkan. Aku senang mendengarkan
mereka bercerita. Apa pun itu. Sementara disisi lain aku jengah ditatap
lamat-lamat oleh Mas Ganang. Empat matanya seakan berbicara. Aku menyikut
lengan Jihan, memulai obrolan baru antara kami berdua. Mas Ganang tentu
mengerti. Kembali berkutat mengetik sesuatu di ponselnya. Panjang lebar
bercerita pada Jihan. Sesekali diselingi suara tawa. Untunglah posisi duduk
kami berada di tempat strategis. Jauh dari pusat perhatian penumpang lain.
Mungkin jika situasinya terbalik, aku dan Jihan akan dipelototi galak oleh yang
lain.
Jihan menggodaku. Rupanya ia sudah sejak awal mengamati
gerak-gerik Mas Ganang termasuk memergoki tatapan itu. Aku malas berkomentar,
lantas mencomot sembarang topik. Bahaya jika yang dimaksud mendengar percakapan
kami. Jihan “ber - yah” kecewa, mukanya mengkal, tidak ditanggapi. Aku sontak
tertawa. Ekspresi wajahnya lucu sekali.
Mas Ganang demi tahu kami sedang apa, membalikkan setengah
badannya. Bertanya apa yang terjadi. Penasaran. Tawaku terhenti, kali ini Jihan
yang puas tertawa sembari menutup mulutnya. Mas Ganang bingung, kemudian
tersenyum. Aku berdeham, mencoba mencairkan suasana.
Obrolan ringan kembali terjadi. Semakin seru. Aku mulai
terbiasa dengan tatapan itu, ya walaupun kadang menghindar dengan cara
mengalihkan pandangan. Bagiku Mas Ganang sosok yang dewasa, cerdas, baik, ramah,
santun, dan modis. Terlihat jelas dari tutur bicaranya. Jihan setuju soal itu. Bukan hanya itu,
diam-diam Jihan mengagumi Mas Ganang. Katanya Mas Ganang tipe yang ia cari
selama ini, umurnya tidak terlalu muda dan tidak juga terlalu tua. Aku menebak
mungkin usianya sekitar 28 tahun. Perpaduan yang pas jika disandingkan
denganku. Aku berkelakar. Jihan menyunggingkan bibirnya, tak terima
pernyataanku. Kami berdua akhirnya terbahak - bahak, terlalu jauh memikirkan
hal-hal semacam itu. Apalagi kami baru bertemu hitungan jam saja.
Entah sudah sampai daerah mana dan stasiun apa. Sepanjang
perjalanan kami lebih banyak mengobrol, sekali dua kali melemparkan pandangan
ke luar jendela, mencari penyegaran. Pemandangan bukit, jurang tinggi menganga,
padi-padi menghijau, rumah warga, aliran-aliran air, jalan setapak, terhampar
silih berganti. Bagai lukisan empat dimensi.
Satu setengah jam berlalu, hujan sudah berhenti, digantikan
oleh sinar lembut matahari.
Aku inisiatif mengajak Jihan berswafoto, sebagai kenang-kenangan
di hari-hari ke depan. Jihan semangat mengiyakan, turut serta mengajak Mas
Ganang. Dahiku mengkerut, sedikit menimbang-nimbang. Bagaimanalah Jihan ini,
aku malu satu frame denganya. Lihatlah! Jihan malah santai memberikan ponselnya
pada Mas Ganang. Aku mengalah. Bersiap berfoto. Tersenyum menghadap kamera di
genggaman Mas Ganang. Satu foto terpampang, hasilnya memuaskan. Aku menyeringai
ternyata tidak sekaku yang dibayangkan. Ekspresi Jihan jangan ditanya, dia
terlihat tidak ada beban. Mas Ganang demi memenuhi hasrat swafoto, rela lebih
rileks dari sebelumnya. Padahal aku tahu sekali dia menahan rasa canggung, sama
sepertiku. Bagian paling menggelikan dari swafoto kami bertiga adalah ketika
salah satu foto Mas Ganang menjulurkan lidah, aku ingin tertawa melihat
ekspresinya. Untunglah aku bisa menahan diri.
Sesi swafoto kami bertiga tidak berlangsung lama, setelah
merasa cukup dengan beberapa foto saja. Tetapi aku dan Jihan masih
melanjutkan, hanya kami berdua tidak bersama Mas Ganang. Aku lebih enjoy, bebas
berekspresi tanpa merasa malu dilihat Mas Ganang. Hasilnya, ada puluhan foto.
Berbagai gaya, lebih tepatnya kebanyakan gaya. Slide demi slide terlewati,
terkadang berhenti untuk membesarkan foto, memperjelas hasilnya. Aku puas,
setidaknya aku punya foto kedua teman baruku itu.
Oh Ibu, gadismu kini bisa tersenyum lebar. Melupakan drama
tadi pagi, detik-detik perpisahan denganmu, Bu.
Aku baru ingat, selama dalam perjalanan ke Bandung, belum
sekali pun aku memberi kabar kepada orang rumah. Sejurus itu aku membuka
ransel, mencari ponsel, lalu mulai mengetik kalimat-kalimat pendek dan mengirimkannya.
Tidak lupa meminta Jihan mengirimkan puluhan swafoto kami melalui WhatsApp.
Jihan mengangguk, memintaku menyebutkan nomer ponselku. Aku mengejanya
perlahan. Mas Ganang membalikkan badan, ternyata juga meminta hasil swafoto.
Aku beranjak berdiri menuju toilet, tersadar cukup lama aku
menahan buang air kecil. Jihan kulihat mulai menyandarkan kepalanya, tak lama
matanya menutup. Tidur. Aku mengembuskan nafas, bergumam dalam hati
"Akhirnya, anak itu tumbang juga" lalu melangkah menuju pintu lorong
kabin. Usai selesai urusan di toilet, aku kembali ke tempat dudukku. Banyak
mata menatapku, aku terus berjalan, tidak mengambil pusing. Mataku menghadap
lurus ke depan, Mas Ganang yang duduk dekat bingkai jendela menatap seraya
tersenyum. Aku membalas senyumannya, seulas senyum terbaik yang kumiliki.
Matahari mulai meninggi, daun-daun tertimpa sinarnya.
Aku sudah terduduk rapi, sebelum benar-benar tertidur,
kembali kurapatkan jaket cokelatku, udara dingin menguar dari sela-sela
pendingin kabin.
Rasanya belum lama aku tertidur, Jihan sudah
mengguncang-guncangkan tubuhku. Memberi tahu bahwa kereta kami tak lama lagi
akan melintasi terowongan. Aku membenarkan posisi duduk, masih sedikit
mengantuk. Jihan riang ketika kereta sudah dalam terowongan. Kanan kiri gelap
gulita hanya penerangan dari lampu-lampu dalam kereta. Aku melihat sekeliling,
penumpang lain banyak yang jatuh tertidur, tidak tertarik dengan pemandangan
alam yang disuguhkan.
Suasana kembali terang setelah beberapa menit lalu kereta
keluar dari dalam terowongan. Aku bersiap untuk kembali tidur, setidaknya masih ada jeda
waktu sebelum kereta sampai Stasiun Bandung. Namun Jihan menahanku, setengah
berbisik mengatakan ingin meminta username Instagramku. Aku menatapnya, yang
ditatap malah terkekeh. "Baiklah" aku menyebutkan tujuh huruf. Jihan
cepat mengetik di keyboardnya, begitu pula ke Mas Ganang. Jadilah sisa-sisa
waktu dihabiskan dengan saling mengikuti di media sosial. Meski aku merasa
canggung saat meminta username Mas Ganang.
Sebelum kereta benar-benar berhenti di Stasiun Bandung dan
kami akan terpisah menjadi 3 tujuan. Aku patah-patah, mengatakan sepatah dua
patah kalimat pada kedua teman baruku itu. Berjanji akan bertemu kembali di
Jakarta dalam rentan waktu yang belum ditentukan. Jihan dan Mas Ganang
mengangguk bukti menyetujui. Jihan menambahkan sedikit kata-kata, walau di
akhir kalimat masih sempat-sempatnya berkelakar memintaku dan Mas Ganang untuk
menyukai postingannya di Instagram. Rasanya saat itu juga aku ingin menjawil
lengan gempalnya. Urung, Mas Ganang sudah siap-siap menengahi. Kami bertiga pun
lantas tertawa.
Kereta berderit sebelum sempurna berhenti,
pengumuman-pengumuman mulai mengudara. Para penumpang berdiri, sebagian
menurunkan barang bawaan dari atas kabin bagasi, sebagian lagi melangkah menuju
pintu kabin. Bersiap keluar dari dalam kereta, menjemput tujuan masing-masing.
Aku dan Jihan berada di bagian depan lorong kabin lengkap menggendong ransel di
pundak, sedangkan Mas Ganang berada di tengah, membuat jarak. Bukan apa, Mas
Ganang kulihat berkumpul bersama rombongannya. Ya, tujuan Mas Ganang ke Bandung
antara lain mengenai urusan kantor.
Pukul 12.01 setelah menempuh puluhan kilometer lebih, kereta
tiba di Stasiun Bandung. Para penumpang menuruni tiga anak tangga. Perjalanan
tiga jam lebih enam belas menit. Bandung kala itu sedang cerah. Jihan terlihat
ceria, Mas Ganang? Entahlah aku tak tau keberadaannya di mana. Aku dan Jihan
menyusuri jalanan berkeramik. Berpindah posisi ke sebelah kiri dari arah
datangnya kereta. Ada perasaan sedih menyusup dada, sebentar lagi aku akan
berpisah dengan kedua teman baru itu. Teman ketemu di kereta. Kedua ujung mataku
mulai basah. Buru-buru kuhapus dengan sehelai tisu. Jihan kulihat sedang
menelepon seseorang, aku menunggunya, duduk di bangku-bangku panjang. Beberapa
menit kemudian Jihan menepuk pundakku, sudah selesai menelepon orang tuanya. Aku
beranjak berdiri, bersiap menuju pintu keluar. Secara tiba-tiba Mas Ganang
menepuk pundakku dari arah belakang dengan berjalan terburu-buru. Ia mengatakan
salam perpisahan kepada kami, di akhiri seulas senyum mengembang dan lambaian
tangan. Kemudian sosoknya hilang di kelokan pintu.
Bersambung ke bagian 2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar