Kamis, 05 Oktober 2017

Kamis Manis




Mengawali hari tidak melulu dimulai dengan hari senin, yak seperti ceritaku kali ini. Semalam sebelum hari kamis, aku tak bisa tidur nyenyak, gelisah sekali. Meski sudah berusaha untuk tidur lebih awal, nyatanya aku jatuh tertidur larut malam. Pikiranku disesaki hal-hal berkaitan dengan hari esok.
Kamis pukul 04.00 pagi, alarm mengalun perlahan tapi nyaring. Aku menyibak selimut yang menaungi seluruh tubuhku, semalam para nyamuk meluncurkan agresi gigitannya, membabi buta tanpa ampun. Habis sudah tubuhku gatal-gatal. Untung saja selimut motif hello kitty membantu banyak. Sejurus kemudian aku menyambar ponsel yang letaknya di meja almari. Menatap sayup layar terang. Lantas kembali menaruh ponsel di tempat semula. 15 menit lagi aku akan bangun, gumamku. Pukul 04.15 pagi, alarmku terus mengudarakan suara. Malas beranjak dari dipan, ku biarkan saja berdering, toh nanti berhenti sendiri. Lagi juga aku sudah mengubah pengaturannya, yang setiap 15 menit sekali alarm akan berdering. Jadilah pagi itu aku bangun pukul 05.00 telat sejam dari jadwal. Gerabak-gerubuk sudah ciri khas bagi sebagian orang yang bangun telat, sebagian lagi memilih panik dan merepotkan orang lain. Sebelum mandi, terlebih dahulu aku menyiapkan pakaian yang akan dikenakan, dilanjut memasukan barang-barang yang akan dibawa. Baru kemudian mandi. Tak lupa sholat subuh 2 rakaat agar diberi kemudahan, kekuatan, dan kelancaran menjalani hari. Pagi itu aku memilih kerudung biru pastel, kemeja biru, dan rok biru dongker. All about blue. 

Selesai merias diri dan makan beberapa potong kentang goreng. Aku memutuskan untuk segera berangkat. Tak ingin sampai lebih dari pukul 8 pagi. Ku aktifkan jaringan Wi-fi, lalu memesan ojek online. Selain murah, dengan ojek penumpang bisa lebih cepat sampai ke tempat tujuan. Seperti pagi kala itu aku menuju stasiun kereta. Hanya butuh 15 menit dari rumah sampai di stasiun. Sebelumnya ada cerita sedikit, setelah aku mendapatkan ojek online. Aku langsung mengirim pesan lewat obrolan. Menanyakan posisi si abang ojek. Tak pakai lama, di balas dengan isi pesan yang sedikit menggelitik bagiku. Terlampir begini:
Aku : “Posisi di mana pak?”
Abang ojek : “Sebentar lagi kaka sampe”
Aku diam sejenak. Kemudian membalas singkat.
Aku : “Oke”
Abang ojek : “Kaka udah sampe depan SD”
Aku tak membalas lagi. 2 balasannya menggunakan kata “kaka” cukup membuatku bergumam dalam hati. Aku tak keberatan, hanya saja ini apa maksudnya, sambil mengernyitkan dahi. Haha. Mungkin si abang ojek setelah melihat ada orderan atas nama Ade langsung berpikir “ah chat pakai panggilan kaka aja ah biar kesannya santai” ya bisa jadi sih hahaha. Sampai di stasiun, aku mengeluarkan selembar uang lima puluh ribu untuk menggenapkan ongkos perjalanan.
Aku : “Ini bang ongkosnya” (sambil menjulurkan uang)
Abang ojek menolak halus sambil sedikit senyum.
Abang ojek : “Yah, mba gaada kembalian. Baru narik sekali” (terkekeh tapi ketutupan buffnya)
Aku : “Yah, bang. Adanya tiga belas ribu doang”
Abang ojek : “Yaudah, gapapa mba” (matanya menyipit)
Aku : “Maaf ya bang” (merogoh kantung)
         “Makasih ya bang” (senyum)
Abang ojek : “Iya mba gapapa, makasih” (senyum (masih) ketutupan buffnya)
Aku beranjak pergi, diiringi sayup-sayup kalimat “hati-hati mba di jalan”. Aku terus berjalan menuju loket pembelian tiket, pemberhentian Sawah Besar. Stasiun sudah dipenuhi penumpang yang menyebar ke segala arah. Aku berdiri di belakang batas garis kuning. Tengak kanan tengok kiri, berharap bertemu teman atau seseorang, nyatanya tidak ada, hanya orang asing yang tak ku kenali berlalu-lalang. Semua kereta penuh sesak, aku menelan ludah, wajahku pias. Kali ini harapanku adalah selamat sampai pulang kembali. Titik. 
Sumber foto: IbudanMama.com

10 menit berlalu, kereta tujuan akhir Jakarta Kota menepi. Sebelum ular besi itu sempurna berhenti, aku bisa merasakan betapa penuh dan sempitnya di dalam sana. Bismillah. Pintu otomatis terbuka. Satu dua orang keluar, disusul aku masuk ke dalam kereta, mencari sedikit ruang diantara kerumunan penumpang lain. Geser sana geser sini. Aku terjebak di tengah, sekelilingku laki-laki. Tak masalah bagiku. Toh nanti bisa berpindah tempat jika ada celah. Kereta mulai bergerak perlahan. Aku berpegangan pada cincin-cincin yang bergelantungan. Di depanku persis tengkuk seorang bapak-bapak. Sampingku bapak-bapak sedang membaca salah satu portal berita di gadgetnya lengkap dengan tangan bergelantungan, yang dengan so pasti ketiaknya terbuka lebar. Aku tersenyum tipis, untunglah ini jam berangkat kerja yang so pasti juga masih tercium harum wewangian, kalau sebaliknya aku pasrah dihadapi dengan keadaan seperti itu.
Usai membenak masalah wewangian. Aku merasa ada seseorang yang mengamatiku dari jauh. Ya, benar saja. Ada seorang pria yang jaraknya dariku kurang lebih dua meteran. Berdiri menghadap jendela, memakai kemeja putih yang dirangkapi oleh sweater merah maroon terlihat dari kerah kemejanya, tas punggung hitam, jam tangan, dan memakai beberapa gelang di tangan kiri. Sementara hanya itu saja yang bisa ku amati. Stasiun demi stasiun terlewati, penumpang terlihat keluar masuk. Otomatis aku bergeser tanpa diminta. Pria itu masih mengamatiku dan seketika membuang pandangannya ketika aku memergokinya. Raut wajahnya masih ku ingat sampai sekarang meski hanya melihatnya sekilas. Hidung bangir, alis tebal, kumis tipis dan sorot matanya, mengingatkanku pada sorot mata juniorku di sekolah dulu, ahsudahlah. Kesan pertama saat melihatnya, tampan, manis dan babyface! Hahaha. Aku hampir kecanduan untuk melihatnya sekali lagi. Untung saja aku bisa menahan diri, meski rasa buncah tak bisa ku bendung. Ular besi semakin dipadati penumpang, aku semakin bergeser kearah samping kiri, tempat pria itu berdiri. Jarak kami kini hanya tinggal satu meter setengahan saja. Aku merutuk dalam hati, jangan sampai aku bersisian dengannya. 

Kereta kembali menepi di salah satu stasiun. Aku mengamati sebagian penumpang berlalu lalang di peron, berjalan tergesa-gesa seperti dikejar sesuatu, sebagian lagi sibuk dengan handphone, dan sisanya duduk di bangku-bangku sekitar peron menunggu antrian pintu keluar lengang. Aku menghela nafas, stasiun tujuanku masih jauh. Jam terus berputar menunjukkan angka 7. Saat itu saat aku menurunkan tanganku dari cincin-cincin bergelantungan, saat itu juga pandangan kami untuk sekali lagi bertemu. Kami saling tatap untuk beberapa detik. Hingga akhirnya kikuk dan berakhir saling membuang pandangan. Aku dapat melihat raut wajahnya secara utuh tidak dari samping lagi. Oh my Lord. Suara gesekan roda-roda kereta beradu dengan rel. 10 menit kemudian kembali menepi di salah satu stasiun. Penumpang membludak masuk ke dalam kereta, aku semakin bergeser ke kiri. Well, setelah terus geser bergeser, aku akhirnya berdiri tepat bersisian dengannya. Hahaha, Tuhan sepertinya senang melihatku di posisi tersebut!
Aku rada kikuk, jadilah aku menyampingkan posisi berdiri sedikit membelakanginya, menghadap bingkai jendela. Aku menunduk, menatap lantai kereta. Dia ternyata memiliki tinggi yang hampir sama sepertiku, mungkin tingginya sekitar 175cm, memakai sepatu pantofel dan celana bahan hitam. Dari situ aku bisa menyimpulkan, bahwa dia akan pergi bekerja, kuliah atau pergi magang. Sayup-sayup terdengar dia berbicara dengan seorang temannya, sepertinya pria. Di dekatnya aku merasa kereta berjalan melambat, padahal memang itu yang aku inginkan, Eh. Hahahaha. Kamis pagiku ternyata semanis wajahnya, aku seperti mendapat suntikan semangat berkali-kali lipat. Harum pekat wewangiannya mengetuk indra penciumanku. Wangi itu masih bisa ku ingat dan rasakan. Bahkan embusan nafasnya pun bisa kurasakan. Bisa dibayangkan aku sedekat apa dengannya, dalam naungan ular besi yang membawa kami ke tempat tujuan akhir. 

Sepanjang perjalanan aku hanya diam menatap kepadatan jalanan di luar sana, sesekali melihat ke samping kanan. Di sana bersisian seorang bapak-bapak sedang bermain games, di sampingnya anak muda bertopi menatap takjub ke layar handphone si bapak. Aku tersenyum simpul. Sedangkan beberapa meter dari posisiku, suara segerombolan bapak-bapak terbahak-bahak memenuhi satu gerbong. Lamunanku terhenti, seseorang menepuk pelan pundak sebelah kiriku 2 kali. Aku tersentak, lantas melihat kearah datangnya tepukan. Dia memintaku sedikit bergeser, padahal posisiku sudah sangat terkunci. Baiklah, aku bergeser tanpa melihat rupanya. Tak lama dari itu kereta kembali menepi, pintu otomatis terbuka lebar, penumpang dalam kereta turun beramai-ramai. Aku baru sadar, lalu untuk apa dia menepuk pundak dan memintaku sedikit bergeser? Jalan menuju pintu keluar tidak terlalu padat, banyak celah yang mudah diterabas. Aku geleng-geleng kepala, mencerna beberapa hal, lantas berpindah posisi ke seberang kanan. Kemudian mencari-cari sosok tingginya dalam kerumunan penumpang lain. Sayangnya, sampai kereta meninggalkan stasiun Cikini aku tak dapat menemukannya. Pertemuan singkat yang memikat. Hingga turun di stasiun Sawah Besar dan sampai ke tempat tujuan, pikiranku masih dipenuhi bayang-bayangnya.
Di hari-hari berikutnya, ketika menggunakan transportasi kereta, aku tak pernah lagi melihatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar