Mengawali
hari tidak melulu dimulai dengan hari senin, yak seperti ceritaku kali ini.
Semalam sebelum hari kamis, aku tak bisa tidur nyenyak, gelisah sekali. Meski
sudah berusaha untuk tidur lebih awal, nyatanya aku jatuh tertidur larut malam.
Pikiranku disesaki hal-hal berkaitan dengan hari esok.
Kamis pukul 04.00 pagi,
alarm mengalun perlahan tapi nyaring. Aku menyibak selimut yang menaungi
seluruh tubuhku, semalam para nyamuk meluncurkan agresi gigitannya, membabi
buta tanpa ampun. Habis sudah tubuhku gatal-gatal. Untung saja selimut motif
hello kitty membantu banyak. Sejurus kemudian aku menyambar ponsel yang
letaknya di meja almari. Menatap sayup layar terang. Lantas kembali menaruh
ponsel di tempat semula. 15 menit lagi aku akan bangun, gumamku. Pukul 04.15
pagi, alarmku terus mengudarakan suara. Malas beranjak dari dipan, ku biarkan
saja berdering, toh nanti berhenti sendiri. Lagi juga aku sudah mengubah
pengaturannya, yang setiap 15 menit sekali alarm akan berdering. Jadilah pagi
itu aku bangun pukul 05.00 telat sejam dari jadwal. Gerabak-gerubuk sudah ciri
khas bagi sebagian orang yang bangun telat, sebagian lagi memilih panik dan
merepotkan orang lain. Sebelum mandi, terlebih dahulu aku menyiapkan pakaian
yang akan dikenakan, dilanjut memasukan barang-barang yang akan dibawa. Baru
kemudian mandi. Tak lupa sholat subuh 2 rakaat agar diberi kemudahan, kekuatan,
dan kelancaran menjalani hari. Pagi itu aku memilih kerudung biru pastel,
kemeja biru, dan rok biru dongker. All about blue.
Selesai merias diri dan
makan beberapa potong kentang goreng. Aku memutuskan untuk segera berangkat.
Tak ingin sampai lebih dari pukul 8 pagi. Ku aktifkan jaringan Wi-fi, lalu
memesan ojek online. Selain murah, dengan ojek penumpang bisa lebih cepat
sampai ke tempat tujuan. Seperti pagi kala itu aku menuju stasiun kereta. Hanya
butuh 15 menit dari rumah sampai di stasiun. Sebelumnya ada cerita sedikit, setelah
aku mendapatkan ojek online. Aku langsung mengirim pesan lewat obrolan. Menanyakan
posisi si abang ojek. Tak pakai lama, di balas dengan isi pesan yang sedikit
menggelitik bagiku. Terlampir begini:
Aku : “Posisi di mana
pak?”
Abang ojek : “Sebentar
lagi kaka sampe”
Aku diam sejenak.
Kemudian membalas singkat.
Aku : “Oke”
Abang ojek : “Kaka udah
sampe depan SD”
Aku tak membalas lagi.
2 balasannya menggunakan kata “kaka” cukup membuatku bergumam dalam hati. Aku
tak keberatan, hanya saja ini apa maksudnya, sambil mengernyitkan dahi. Haha. Mungkin
si abang ojek setelah melihat ada orderan atas nama Ade langsung berpikir “ah
chat pakai panggilan kaka aja ah biar kesannya santai” ya bisa jadi sih hahaha.
Sampai di stasiun, aku mengeluarkan selembar uang lima puluh ribu untuk
menggenapkan ongkos perjalanan.
Aku : “Ini bang
ongkosnya” (sambil menjulurkan uang)
Abang ojek menolak
halus sambil sedikit senyum.
Abang ojek : “Yah, mba
gaada kembalian. Baru narik sekali” (terkekeh tapi ketutupan buffnya)
Aku : “Yah, bang.
Adanya tiga belas ribu doang”
Abang ojek : “Yaudah,
gapapa mba” (matanya menyipit)
Aku : “Maaf ya bang”
(merogoh kantung)
“Makasih ya bang” (senyum)
Abang ojek : “Iya mba
gapapa, makasih” (senyum (masih) ketutupan buffnya)
Aku beranjak pergi,
diiringi sayup-sayup kalimat “hati-hati mba di jalan”. Aku terus berjalan
menuju loket pembelian tiket, pemberhentian Sawah Besar. Stasiun sudah dipenuhi
penumpang yang menyebar ke segala arah. Aku berdiri di belakang batas garis
kuning. Tengak kanan tengok kiri, berharap bertemu teman atau seseorang, nyatanya
tidak ada, hanya orang asing yang tak ku kenali berlalu-lalang. Semua kereta
penuh sesak, aku menelan ludah, wajahku pias. Kali ini harapanku adalah selamat
sampai pulang kembali. Titik.
Sumber foto: IbudanMama.com |
10 menit berlalu,
kereta tujuan akhir Jakarta Kota menepi. Sebelum ular besi itu sempurna
berhenti, aku bisa merasakan betapa penuh dan sempitnya di dalam sana.
Bismillah. Pintu otomatis terbuka. Satu dua orang keluar, disusul aku masuk ke
dalam kereta, mencari sedikit ruang diantara kerumunan penumpang lain. Geser
sana geser sini. Aku terjebak di tengah, sekelilingku laki-laki. Tak masalah
bagiku. Toh nanti bisa berpindah tempat jika ada celah. Kereta mulai bergerak
perlahan. Aku berpegangan pada cincin-cincin yang bergelantungan. Di depanku
persis tengkuk seorang bapak-bapak. Sampingku bapak-bapak sedang membaca salah
satu portal berita di gadgetnya lengkap dengan tangan bergelantungan, yang
dengan so pasti ketiaknya terbuka lebar. Aku tersenyum tipis, untunglah ini jam
berangkat kerja yang so pasti juga masih tercium harum wewangian, kalau
sebaliknya aku pasrah dihadapi dengan keadaan seperti itu.
Usai membenak masalah
wewangian. Aku merasa ada seseorang yang mengamatiku dari jauh. Ya, benar saja.
Ada seorang pria yang jaraknya dariku kurang lebih dua meteran. Berdiri
menghadap jendela, memakai kemeja putih yang dirangkapi oleh sweater merah
maroon terlihat dari kerah kemejanya, tas punggung hitam, jam tangan, dan
memakai beberapa gelang di tangan kiri. Sementara hanya itu saja yang bisa ku
amati. Stasiun demi stasiun terlewati, penumpang terlihat keluar masuk.
Otomatis aku bergeser tanpa diminta. Pria itu masih mengamatiku dan seketika
membuang pandangannya ketika aku memergokinya. Raut wajahnya masih ku ingat
sampai sekarang meski hanya melihatnya sekilas. Hidung bangir, alis tebal, kumis
tipis dan sorot matanya, mengingatkanku pada sorot mata juniorku di sekolah
dulu, ahsudahlah. Kesan pertama saat melihatnya, tampan, manis dan babyface! Hahaha. Aku hampir kecanduan
untuk melihatnya sekali lagi. Untung saja aku bisa menahan diri, meski rasa
buncah tak bisa ku bendung. Ular besi semakin dipadati penumpang, aku semakin
bergeser kearah samping kiri, tempat pria itu berdiri. Jarak kami kini hanya
tinggal satu meter setengahan saja. Aku merutuk dalam hati, jangan sampai aku
bersisian dengannya.
Kereta kembali menepi
di salah satu stasiun. Aku mengamati sebagian penumpang berlalu lalang di
peron, berjalan tergesa-gesa seperti dikejar sesuatu, sebagian lagi sibuk
dengan handphone, dan sisanya duduk di bangku-bangku sekitar peron menunggu
antrian pintu keluar lengang. Aku menghela nafas, stasiun tujuanku masih jauh.
Jam terus berputar menunjukkan angka 7. Saat itu saat aku menurunkan tanganku
dari cincin-cincin bergelantungan, saat itu juga pandangan kami untuk sekali
lagi bertemu. Kami saling tatap untuk beberapa detik. Hingga akhirnya kikuk dan
berakhir saling membuang pandangan. Aku dapat melihat raut wajahnya secara utuh
tidak dari samping lagi. Oh my Lord. Suara gesekan roda-roda kereta beradu
dengan rel. 10 menit kemudian kembali menepi di salah satu stasiun. Penumpang
membludak masuk ke dalam kereta, aku semakin bergeser ke kiri. Well, setelah
terus geser bergeser, aku akhirnya berdiri tepat bersisian dengannya. Hahaha,
Tuhan sepertinya senang melihatku di posisi tersebut!
Aku rada kikuk, jadilah
aku menyampingkan posisi berdiri sedikit membelakanginya, menghadap bingkai
jendela. Aku menunduk, menatap lantai kereta. Dia ternyata memiliki tinggi yang
hampir sama sepertiku, mungkin tingginya sekitar 175cm, memakai sepatu pantofel
dan celana bahan hitam. Dari situ aku bisa menyimpulkan, bahwa dia akan pergi
bekerja, kuliah atau pergi magang. Sayup-sayup terdengar dia berbicara dengan
seorang temannya, sepertinya pria. Di dekatnya aku merasa kereta berjalan melambat,
padahal memang itu yang aku inginkan, Eh. Hahahaha. Kamis pagiku ternyata
semanis wajahnya, aku seperti mendapat suntikan semangat berkali-kali lipat.
Harum pekat wewangiannya mengetuk indra penciumanku. Wangi itu masih bisa ku
ingat dan rasakan. Bahkan embusan nafasnya pun bisa kurasakan. Bisa dibayangkan
aku sedekat apa dengannya, dalam naungan ular besi yang membawa kami ke tempat
tujuan akhir.
Sepanjang perjalanan
aku hanya diam menatap kepadatan jalanan di luar sana, sesekali melihat ke
samping kanan. Di sana bersisian seorang bapak-bapak sedang bermain games, di
sampingnya anak muda bertopi menatap takjub ke layar handphone si bapak. Aku
tersenyum simpul. Sedangkan beberapa meter dari posisiku, suara segerombolan
bapak-bapak terbahak-bahak memenuhi satu gerbong. Lamunanku terhenti, seseorang
menepuk pelan pundak sebelah kiriku 2 kali. Aku tersentak, lantas melihat
kearah datangnya tepukan. Dia memintaku sedikit bergeser, padahal posisiku
sudah sangat terkunci. Baiklah, aku bergeser tanpa melihat rupanya. Tak lama
dari itu kereta kembali menepi, pintu otomatis terbuka lebar, penumpang dalam kereta
turun beramai-ramai. Aku baru sadar, lalu untuk apa dia menepuk pundak dan
memintaku sedikit bergeser? Jalan menuju pintu keluar tidak terlalu padat,
banyak celah yang mudah diterabas. Aku geleng-geleng kepala, mencerna beberapa hal,
lantas berpindah posisi ke seberang kanan. Kemudian mencari-cari sosok
tingginya dalam kerumunan penumpang lain. Sayangnya, sampai kereta meninggalkan
stasiun Cikini aku tak dapat menemukannya. Pertemuan singkat yang memikat.
Hingga turun di stasiun Sawah Besar dan sampai ke tempat tujuan, pikiranku
masih dipenuhi bayang-bayangnya.
Di hari-hari
berikutnya, ketika menggunakan transportasi kereta, aku tak pernah lagi
melihatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar