Selasa, 16 Agustus 2016

Kecewa



Selamat pagi.

Aku tahu, saat membaca cerita ini. Di tempat kalian mungkin sedang siang, sore, atau boleh jadi malam hari. Di tempatku ketika memulai cerita ini juga sedang pagi pukul 07.30.  Di saat matahari beranjak bangkit menampakkan lekuknya.
Bagiku pagi adalah waktu paling indah, diantara potongan dua puluh empat jam. Melewati malam dengan mimpi – mimpi yang menyesakan, malam – malam panjang, gerakan tubuh resah, kerinduan, dan helaan napas tertahan.

Sumber: twitter.com/@karizunique
 
Pagi ini, entah mengapa aku ingin sekali mengulas kisah di masa lalu. Belasan tahun silam, aku di anugerahi nikmat oleh-Nya berupa sahabat baik. Dia adalah teman terbaikku pada masanya. Banyak hari yang kami lewati bersama seperti, bermain bersama, pergi dan pulang sekolah bersama, bercerita tentang banyak hal bersama. Apapun selalu bersama, yang hampir pasti membuat kebersamaan kami menjadi lebih erat. Sampai detik ini, aku selalu ingat kebersamaan kami, tak sepotong kejadian pun luput dari ingatan. Andai di beri lorong waktu atau waktu bisa di putar ulang, ingin sekali aku kembali menelusuri masa itu, masa – masa menyenangkan usia anak – anak pada zamannya. Aku tersenyum ketika mengingat renteten peristiwa itu sampai lupa bahwa waktu telah membawa perubahan besar dalam pertemanan kami.

Delapan tahun lalu, perhelatan perpisahan Sekolah Dasar di gelar di sebuah Gedung Kesenian dekat dengan rumahku. Bagiku, acara itu sekaligus menjadi momentum perpisahan pertemanan kami yang sudah terjalin lama. Sungguh waktu menjawab sebab akibatnya di kemudian hari.  Aku tidak akan menjelaskan detailnya, karna kalian pasti akan sadar kedatangan orang baru di lingkungan baru pastilah membawa dampak perubahan bagi seseorang. Hanya segelintir orang yang mampu bertahan di derasnya aliran itu sendiri.
Ketika itu, usiaku menginjak 12 tahun. Dalam usia yang sedini itu aku bisa merasakan kehilangan seseorang yang pernah dekat denganku, itu rasanya sesak. Aku dan dirinya masih satu kota, hanya saja berbeda dalam memilih sekolah lanjutan. Di sekolah yang baru, pada umumnya siapapun menemukan teman – teman baru tentunya dengan sejuta cerita baru. Aku dan dirinya berbeda sekolah, tentu kami tidak akan seperti dulu selalu bersama pergi maupun pulang sekolah. Aku bisa mengerti, begitu pula dengan bentangan jarak yang perlahan meluas. Awal – awal di sekolah baru aku mulai terbiasa beradaptasi dengan teman yang lain, hanya saja terasa hambar seperti ada yang kurang.

Sejak saat itu, hubungan pertemanan kami merenggang entah apa sebabnya. Biarpun begitu, aku selalu menjaga silaturahmi dengan bertegur sapa lewat jejaring social yang sedang booming kala itu. Sederhana, mulai dari menanyakan kabar, kegiatan sekolah dsbnya. Dia memang selalu menjawab pertanyaanku namun dengan jawaban singkat serta dingin, tanpa menanyakan sebaliknya. Berselang beberapa tahun kemudian, tak pernah terdengar kabar darinya jika aku tidak memulai berkomunikasi lebih dulu. Itu terjadi di tahun – tahun berikutnya. Amat disayangkan, sahabat yang dulu dekat sekali denganku kini berubah drastis sekali, entahlah apa yang membuatnya begitu asing kini. Sampai suatu ketika, saat aku sedang berselancar di jejaring social, tak sengaja aku melihat unggahan foto – foto ulang tahunnya. Riuh gegap gempita suasana pesta ulang tahun ke 17 itu bisa kurasakan walau hanya memandangi beberapa fotonya. Sekilas, teringat dulu setiap mendekati hari lahirnya aku selalu antusias mencari rangkaian kata indah untuk diucapkan padanya. Kegiatan itu kulakukan hampir tiap tahunnya. Mungkin itu hal kecil yang bisa kulakukan. Aku kembali menatap foto –foto itu. Rupanya acara ulang tahun itu memilih nuansa pink, terlihat dari background dinding, kue ulang tahun dan tentunya para undangan yang cantik mengenakan gaun berumbai. Ada rasa berdesir saat memandanginya. Terbersitlah kemudian “Hmm. Kok, aku ga diundang?” lalu ku tepis jauh – jauh kalimat itu setelah sadar acara itu di rayakan bersama teman – teman sekolah SMAnya di sebuah cafĂ© di bilangan Bogor.

Ternyata dia masih sama cantik dan imutnya seperti beberapa tahun lalu. Guratan wajahnya tampak sama seperti dulu kanak – kanak. Asik melihat galeri foto perayaan ulang tahunnya, aku dikejutkan oleh satu dua foto lebih. Dalam foto itu jelas menampilkan beberapa gadis cantik dengan gaun pinknya sedang berjejer rapi membentuk formasi setengah lingkaran. Dugaanku ternyata salah, dalam acara itu dia juga turut mengundang geng semasa SMPnya, dan betapa tersentaknya aku saat menatap lamat - lamat salah satu dari mereka adalah teman semasa SDku juga. Kebas sudah wajahku melihat foto itu, ketika mengetahui teman SDku yang tak kusebutkan namanya diundang dalam perayaan ulang tahunnya. Tak usahlah, aku menjelaskan apa rasanya saat itu, kalian pun tau sendiri arti kata dari “kecewa” :’).

Sejak kejadian itu aku sadar kasta dan gaya hidup lebih banyak mendominasi, hingga membuat jarak terbentang luas. Ah, padahal aku amat sangat merindukannya, ingin bertemu, ingin menceritakan banyak hal, dan ingin – ingin lainnya. Sayang, setelah dewasa kini sulit sekali untuk membuat sebuah janji pertemuan dengannya. Padahal jarak rumah kami hanya sepelemparan batu saja. Pernah di suatu kesempatan yang belum lama ini, aku mengajaknya bertemu. Seperti biasa aku yang selalu menghubunginya lebih dulu. Tanpa basa – basi aku menorehkan sepatah dua patah kata pada dinding pesannya, sebenarnya ada rasa ragu melanda bila dia tak membalas pesanku, tapi kucoba lapang dada apapun hasil akhirnya. Lima jam berlalu, ku dapati dia membalas pesanku. Senang? Tentu saja itu kali pertamanya aku dan dia bertegur sapa kembali di jejaring social semenjak dua tahun terakhir. Dalam pesannya hanya ada dua kata, singkat sekali. Tak pakai lama, aku langsung kembali membalas pesannya berharap dia membalasnya kembali. Malangnya, sampai detik ini pesan itu tak pernah berbalas. Beberapa hari setelah kejadian itu, dia mengunggah foto pada akun Instagram­-nya dalam foto itu dia berdua; mungkin dengan (((sahabat karibnya sekarang))) terduduk anggun memakai busana seirama yang sepertinya telah disepakati bersama. Sungguh teriris – iris rasanya, belum lama aku mengajaknya bertemu, dan kini aku menyaksikan betapa dia dengan tak berdosanya bertemu dengan seseorang lalu menggunggah fotonya di akun Instagram pribadinya. Aku tak mempermasalahkan dia bertemu dengan siapa saja itu haknya, tapi amat disayangkan dia lebih memilih bertemu dengan orang lain ketimbang bertemu denganku. Kejadian itu membuat diriku kembali tersadarkan, bahwa aku hidup di masa lalunya, dan sekarang mungkin namaku masih terukir dibenaknya, namun title ‘sahabat’ mulai tergerus seiring waktu berjalan. Tak usahlah, aku menjelaskan apa rasanya saat itu, kalian pun tau sendiri arti kata dari “kecewa” :’). 

Kini di tahun 2016 ini, entah apa lagi yang harus kulakukan untuk bertemu dengannya. Segala cara sudah kucoba termasuk menghubunginya lebih dulu, karena kutau kemungkinan kecil Dia menghubungiku lebih dulu. Aku pikir, disini hanya aku yang memperjuangkan sebuah ‘pertemuan’ h a h a h a :’).  Dalam kasus ini, mungkin menghapus pertemanan dengannya di dunia maya jauh lebih baik. Memang terkesan kekanak – kanakan bagi sebagian orang, tapi sejatinya itu hal terbaik ketimbang memusuhinya. Logikanya begini, kita tahu orang yang membuat kita terganggu dengan postingannya yang mengiris hati, tapi kita diam saja. Mungkin itu baik untuk sebagian orang juga, tapi mereka tanpa sadar, bahwa hatinya semakin tersayat dalam ketika melihatnya. Disini aku tak mau memperumit keadaan, jadi kalau bagiku terasa mengganggu untuk jangka waktu yang lama ya hapus, block, unfriends saja. Clear!!

Sebab, tak ada gunanya berteman bila tak saling bertegur sapa, belum lagi melihatnya dalam bentuk apapun terasa menyakitkan.  Sampai aku sedewasa ini, aku tak pernah mengerti hakikat bersahabat itu seperti apa. Kata orang sahabat ialah saling ini dan itu, panjang kali lebar. Tapi, tetap aku tak menemui artinya. Buntu. Pada, kenyataannya yang sering aku temui, akhirnya bersahabat menelan kekecewaan entah dari segi apapun. Tapi digaris bawahi ini tidak semuanya terjadi. 

Dalam kisah ini, aku sengaja tak menuliskan nama atau inisialnya. Bukan atas dasar kredibilitas atau apa. Toh, ada atau pun tidak namanya kurasa dia tak akan membaca tulisan ini. Bagaimana dia dulu hingga kini, aku tak menyalahkan sikapnya dan akupun tak membenarkan sikapku. Tentang pertemuan, tentang kerinduan, tentang kekecewaan, tentang persahabatan padanya biarlah mengalir bagai air. Bertemu atau tidak nantinya kuserahkan kepada sang Maha Pencipta karena Dialah yang membolak – balikan hati manusia.

Semoga aku dapat melewati malam dengan mimpi – mimpi yang menyesakan, malam – malam panjang, gerakan tubuh resah, kerinduan, dan helaan napas tertahan dengan lapang hati. Sampai detik ini aku menuliskan kisah tersebut, aku akan dan selalu menganggapnya sebagai sahabat bagaimanapun dia sebaliknya terhadapku :). 

Lupa dengan seseorang boleh, tapi melupakan seseorang jangan” -AK-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar